Rean tak pernah tersenyum sebahagia saat ia bersamaku ketika dirinya sedang dengan orang lain. Hingga aku merasa senyumnya yang langka itu memang hanya untukku. Sengaja begitu dibuatnya. Tapi aku tak pernah berharap juga, meski aku suka. Karena bagiku, yang penting aku mencintainya. Bahkan aku sudah tiba di titik dimana aku rela tak mendapat apapun dari pemberian kasihku. Aku tak butuh balasan darinya. Hanya kuharap ia bahagia.
"Aku mau masak pie." Katanya. "Kamu lapar, kan?
"Pie? Masak? Emang kamu bisa."
"Ya elah pakai ditanya lagi."
"Coba."
"Lihat baik-baik nih ya chef mau masak."
"Sombong banget, Pak. Mau bikin pie apa sih? Ngomong-ngomong Elshe sering banget bikinin aku pie apel. So i hope you made me something different."
"It's my pleasure to have you as my first taster, young lady. Just wait and see right there."
Alunan lagu Lana Del Rey-Blue Jeans menggema di langit-langit dapur rumah Rean yang memiliki interior ala Jawa klasik. Khas Rumah Joglo. Ini kedua kalinya aku berkunjung ke rumah vintage miliknya. Nenek sedang memetik teh di tempatnya bekerja, baru saja berangkat. Sehingga hanya ada kami berdua di sini dengan gema lagu syahdu dan suara molek penyanyinya.
Ia menyajikan pie ayam buatannya untukku di ruangan yang ia sebut tempat berkelana. Tapi yang kulihat ruangan itu sempit dengan dinding bercat hitam dan ada beberapa tulisan dari kapur putih di sana yang tercetak apik bak lukisan.Salah satu sisi dindingnya terdapat tulisan. One day you'll leave this world behind, so live a life you will remember. Lirik paling mengena di lagunya Avicii-The Nights. Guru besar di bidang elektronik musik yang ke surga beberapa tahun lalu itu adalah salah satu cintaku. Violet sering memutar lagunya keras-keras hingga mengisi sudut kosong rumah. Aku amat menyukainya.
Rean bilang begitu banyak hal yang ia lakukan di sini. Meski pada kenyataannya tak ada satupun perkakas kecuali meja marmer berkaki rendah di sudut kiri ruangan tempatku duduk saat ini. Lagi-lagi ia memutar lagu, kali ini dari ponselnya. Lalu suara lembut milik Zayn dari lagu teromantisnya Tonight mengisi percakapan hampa dengan pie ayam hangat dan lemon tea hari itu. Rencananya aku ingin membantu lelaki itu untuk mengerjakan tugas sejarahnya. Tetapi seperti yang bisa ditebak, Rean justru tahu lebih banyak dari aku.
But love me tonight, sweet girl of mine.
Take all your time, I know that you're mine.
"Enak banget." Kataku. "Kamu boleh juga."
Ia tersenyum kecut meletakkan bolpoin hitam itu di sisi kanan buku. "Ibu dulu suka masak ini. Aku belajar keras buat bikin yang rasanya persis. Setelah bertahun-tahun baru bisa kayak begini."
Aku mengangguk. Mencicipi lagi. Sebagai pengalihan rasa penasaranku. Tapi aku sadar, tak patut menguliknya terlalu dalam. Bisa jadi itu luka yang ia sembunyikan. Karena sejauh ini, perihal ibu tak pernah menerbitkan lengkung kurva merah muda di sana.
Rean melihatku. Ia tidak tersenyum seperti apa yang kuduga. Hanya sorot mata itu yang lagi-lagi menarikku ke dimensi lain. Kita terus begini. Kita begitu dekat meski kadang jauh. Dengan semua hal indah yang dia berikan hingga melukis rona-rona merah muda di pipiku. Tapi kita ini apa?
So love me like we don't have tomorrow.
Like there's no point at all love.
Love me like tomorrow never gonna come.
Lalu tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Rasa kantuk dan mata yang seperti melekat satu sama lain menyambutku.
"Scarlet! Scarlet! Bangun! Scarlet bangun!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Within
Teen FictionNamanya Scarlett. Dia bukanlah gadis yang akan muncul pertama kali di ingatanmu ketika kau mengenang masa lalu. Bukan yang jadi primadona. Tidak juga tipe yang bikin kamu kesal mengingatnya. Scarlett pendiam, tak memberi kesan apapun sehingga ia ham...