Jenar tak mau kembali ke panti. Ia kecewa pada Bu Sur yang tak pernah mengungkapkan hal tentang orang tuanya sampai akhir sekalipun ia menanyakannya dengan tak begitu peduli. Jangan tanya dimana ia tinggal, Jenar tak mungkin ada di rumahku atau ia akan merasakan kecanggungan luar biasa jika ayahku pulang.
"Tinggal di sini aja sampai kapan pun lo mau." Robin bersuara sembari sesekali mengumpat ketika ia kalah dalam permainan di ponselnya.
Kami sedang ada di ruang keluarga rumah Elshe. Ya, kemarin Jenar menginap di sana. Bukan hanya rumah itu super besar dan nyaman, tetapi juga karena orang tua Elshe yang tak pernah ingin terlalu mengurusi pertemanan anaknya. Jenis yang berpikiran terbuka dan menjunjung tinggi hak individu. Lagipula mereka hanya akan pulang untuk tidur, meskipun ayahku juga begitu.
Elshe membawa pai apel yang baru saja dibuatnya ke meja di tengah-tengah kami. "Ini, makan dulu semuanya." katanya. Seperti biasa ia selalu memastikan perut kami penuh.
Jenar hanya diam, bahkan ia sama sekali belum mencuci wajahnya dari kemarin. Masih ada jejak-jejak air mata yang terlihat jelas di sana. Elshe memeluknya. "It's okay. At least, you have us."
Aku ikut berhambur dalam pelukan mereka. Bukannya menenangkan Jenar tapi aku malah ikut menangis. Bagaimana lagi, aku sangat lemah terhadap hal-hal seperti ini. Melihat orang menangis membuatku merasakan betapa berat apa yang dipikul mereka hingga air mata memutuskan untuk bicara.
"What would i do without you all?" Jenar membalas pelukan kami. "Robin, lo yakin gak mau peluk gue?"
Robin tampak cuek sembari memotong pai apel yang masih panas disertai kepulan asap dari sisi-sisinya yang tersentuh pisau, itu makanan penutup kesukannya. "Lo kan belum mandi."
"Anjing." Jenar menarik kerah belakang lelaki itu lalu membawanya berpelukan dengan kami. "Jangan tinggalin gue, ya."
"Kamu tadi dicariin sama Julius." kataku setelah kami mengurai peluk. Jenar memang membolos hari ini. "Dia datang ke kelas pagi-pagi."
Elshe menerima suapan pai dari Robin, kemudian gadis itu ikut menanggapi. "Dari tadi nelponin Jenar mulu kok. Gak pernah dijawab juga. Lama-lama kasihan."
"Dari yang aku lihat tadi, Julius juga kacau. Dia gak serapi biasanya dan kayaknya tadi dia bolos setelah tahu kamu gak masuk."
"Biarin. Gue gak mau dengar apa-apa lagi soal dia. Gue gak peduli, dia baru tahu atau udah tahu dari lama. Intinya gue benci."
Robin melayangkan sesuap pai di depan bibir Jenar. "Ya udah ni, lo makan dulu. Dari kemarin pasti belum makan, kan? Aaa. Nah gitu dong."
-----
Sama seperti Jenar, Julius pun tak kalah berantakan sejak hari dimana orang tuanya bilang, kalau ia memiliki saudara selama ini. Beragam pertanyaan muncul kenapa harus mereka berpisah, apa yang terjadi, bagaimana pada akhirnya orang tuanya bisa sampai berpikir itu keputusan terbaik, dan yang lainnya.
Lelaki itu membolos lagi hari ini. Kemarin ia hanya masuk setengah hari karena menemaniku di rumah sakit dan sekarang ia hanya tiduran di sofa samping bankarku dengan seragam putih abu-abu yang melekat asal di tubuhnya.
Aku melirik ke kiri, dan mendapati Julius memainkan ponsel sejak beberapa jam lalu hingga aku berkali-kali terbangun mendapatinya seperti itu.
Aku ingin menanyakan banyak hal padanya. Ingin juga menyuruhnya pulang untuk istirahat karena ia juga tampak tidak begitu baik. Tapi selang ventilator sialan yang belum dikeluarkan dari tubuhku ini menghalangi niatku. Bahkan kalau boleh aku mengeluh, ini rasanya sangat sakit dan memuakkan. Selain itu tubuhku terlampau payah untuk melakukan apapun. Aku hanya tidur seharian tanpa berkomunikasi. Lalu sesekali menyimak nenek bicara kemudian tertidur di tengah ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Within
Fiksi RemajaNamanya Scarlett. Dia bukanlah gadis yang akan muncul pertama kali di ingatanmu ketika kau mengenang masa lalu. Bukan yang jadi primadona. Tidak juga tipe yang bikin kamu kesal mengingatnya. Scarlett pendiam, tak memberi kesan apapun sehingga ia ham...