29• Ada apa dengannya

217 28 12
                                    

For all the lost soul out there
let's go back, someone that you
never think of still missing you all
the time.

[]

Sore ini hujan turun cukup deras mengingat awan stratus sudah menggantung sejak pagi. Mendung gelap membayang selama beberapa hari, tapi tetes-tetes infiltrasi pantang menyerah itu tak kunjung tiba. Hingga malas membisikkan mantra mujarabnya padaku, jangan bawa payung.

Lalu itu semua berujung petaka. Aku berteduh di depan kantor satpam sekolah yang sudah tutup. Percik air yang menghantam bumi itu mulai mengotori sepatu putih yang sialnya sangat kusayangi dan hampir tak pernah kupakai. Namun kini tragis. Aku bersumpah langsung mencucinya saat pulang nanti.

"Padahal sayang banget."

Ponselku berdering, rupanya dari Violet. Dia bilang akan sedikit telat karena tiba-tiba ia menjatuhkan gelas jus dan harus membersihkannya atau mendapat omelan ibu. Beruntung ibu sedang ada agenda hipnosis hari ini. Ya, ibuku seorang terapis dan hipnosis. Ia seringkali bekerja dengan psikolog dan dokter dari rumah sakit bahkan ia juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas.

Tak lama setelahnya hujan semakin deras saat Violet kembali menelepon. Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa ban mobil yang ia tumpangi meletus di saat seperti ini. Beberapa kali guntur dan kilat menyapa saat sekolah hampir gelap. Suasana mencekam dan membuatku merinding saat menyadari aku satu-satunya orang di sini. Memang masih ada beberapa siswa yang mengikuti ekstrakulikuler di dalam gedung sekolah. Tapi posisiku saat ini di luar, seorang diri.

Aku menghela napas berat, kalau saja aku tidak mengajak Bu Nurul berdiskusi terkait pemilihan jurusan yang tepat untukku sepulang sekolah tadi. Mungkin aku sekarang sudah berbaring nyaman di kasur.

Keputusasaan hampir saja membuatku punya ide menerobos hujan dan membiarkanku basah kuyup. Tapi tangan besar yang hangat itu menarikku mundur perlahan. Awalnya aku terkejut dan langsung menoleh. Dan semua ketakutan itu sirna begitu melihat Rean terkekeh padaku.

"Lo gampang kaget ya." katanya masih sambil tertawa menampakkan lesung pipi samar di bagian kiri yang baru kusadari keberadaannya setelah sekian lama.

Jantungku kembali berulah, bukan karena mengingat betapa buruknya wajahku ketika terkejut melainkan senyum Rean yang terasa melelehkan sendi-sendi tubuhku.

"Tunggu bentar lah, jangan hujan-hujanan. Entar sakit. Bentar lagi juga reda."

Suara yang sudah kunantikan sejak beberapa hari lalu itu kembali mengalun di telingaku pada akhirnya.
"Aku udah nunggu lama masih deras juga."

"Ya bentar lagi reda, kok. Ngomong-ngomong kita udah lama ya gak ngobrol begini."

Aku tersenyum.

"Kamu gak masuk sekolah 'kan belakangan?"

Lelaki itu tampak berpikir. "Sekitar tiga hari."

"Masa kurang sih liburnya."

Rean hanya terkekeh sebelum akhirnya melontarkan tanya, "kenapa, nyariin gue?"

"Yee ge er lu." sahutku cepat tak ingin membuat jeda diantara percakapan singkat ini.

"Ada murid 'kan baru di kelas lo?"

"Iya, Leon sama Lea. Anak kembar."

"Teman gue tuh."

"Mantan aku."

Rean mengangguk. "Udah tau gue. Kalian sekarang gimana?"

Jangan tanyakan bagaimana aku, Rean. Yang ingin kutahu itu bagaimana kamu dengan Leon.

"Dia bangsat." celetukku pelan, tapi lelaki itu masih bisa mendengarnya.

"Bangsat?"

"Pokoknya bangsat. Kalau kamu kenal dia harusnya kamu tahu bagaimana kisahku dengan Leon."

"Maaf buat itu."

"That's not your fault anyway. You don't have to feel sorry all the time."

Rean tersenyum, "i like your way to think." Setelah jeda yang cukup singkat, lelaki itu melanjutkan kata-katanya. "Jangan percaya sama cowok. Memang tidak semua cowok itu sama, tapi sebagian besar sukanya main-main doang, toh masih muda kenapa tidak dimanfaatkan. Buat menemukan sisanya susah dan biasanya cowok yang begitu gak bakalan deketin cewek dengan gampang."

"Nice advice from the experienced one."

"I think I was one of the minority."

"You're joking."

Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ponsel yang berbeda dari yang pernah kulihat sebelumnya. Aku baru menyadari kalau Rean sedang menggunakan earphone. Dan satu hal lagi yang baru kuketahui. Wajah lelaki itu tampak sedu sedan saat diam seperti ini.

Every aspect of him just feel like another universe to discover.

Dari beberapa artikel yang kubaca, semua benda di alam semesta memiliki energi. Ketika sedang menatap sesuatu, kita mengalirkan energi milik kita pada hal tersebut. Teori yang sama berlaku ketika menatap orang dalam waktu yang cukup lama, maka orang tersebut akan menoleh, merasakan ada pancaran energi dari kita. Mungkin hal itu juga yang membuat mataku dan Rean bertemu setelah aku tanpa sadar mengamatinya cukup lama.

"Kenapa ngelihatin gue mulu?"

"Enggak kok. Penasaran aja kenapa pake earphone kalau enggak ngedengerin lagu."

"Biar enggak diajak ngomong."

Aku terkekeh. "Emang banyak yang pengen ngobrol sama kamu?"

"Banyak."

"Tapi barusan kamu ngobrol sama aku."

"Itu beda."

Beberapa orang tidak pernah sama seperti yang kita bayangkan. Dan lagi-lagi tebakanku padanya benar, Rean memang amat jarang acuh dengan orang lain. Tapi peringainya yang berbeda padaku, selalu menimbulkan rasa baru.

"Kamuflase yang bagus, toh kamu gak suka musik. Kenapa juga ngedengerin."

"Kenapa enggak?"

"Harusnya aku yang tanya."

"Iya kenapa enggak. Gak ada suara yang lebih bagus buat didengar di sini. Orang-orang pada ramai sendiri."

"Jadi, buat mengisi kekosongan ya?"

"Semacam itulah."

Aku baru saja ingin menyahut ketika sebuah kendaraan roda empat yang cukup familiar berhenti tepat di depan kami. Lalu pengemudinya keluar tanpa diduga. Leon. Apalagi yang mau dia lakukan. Ia berlari menerobos deras hujan ke arahku.

"Violet tadi bilang suruh jemput kamu." kata lelaki itu sembari memegang tanganku. "Ayo."

Kuhempas genggamannya. "Tahu darimana kamu?"

"Kita ketemu di bengkel, ban dia bocor. Bakal lama kalau kamu tunggu." Leon masih membujukku. Sial, seharusnya dia tahu kalau aku tidak akan pernah mau.

"Mending gue jalan kaki daripada harus sama lo."

Lelaki berkulit putih itu menoleh ke arah Rean yang entah sejak kapan sudah jongkok dan bersandar pada dinding di belakangnya, "kamu mau bareng sama dia? Lihat, dia aja jalan kaki,"

"bilangin dia, Re." lanjut Leon.

Tapi Rean masih bergeming. Ia menunduk. Ditumpukan kepalanya pada lutut tanpa menghiraukan kami berdua. Kenapa kamu diam saja, Rean. Harusnya kamu membantuku. Buktikan kata-katamu tadi. Jangan mengundang firasat lain seperti ini.

"See? Ayo, entar keburu malam."

Entah apa yang terjadi padaku. Hingga aku ikut saja saat Leon kembali menggenggam tanganku. Dan Rean masih bergeming di sana seolah tak peduli.

_____

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang