Rumah begitu gelap saat aku masuk dari pintu yang terkunci. Ada suara gaduh dari ruang keluarga. Aku terhenyak entah untuk yang keberapa kali.
Lea meringkuk di sudut antara sofa turquoise dengan rak hitam tinggi yang sudah lama sekali ada di rumah ini. Dia menangis lagi, lalu ayah berteriak kencang hingga guratan di lehernya terlihat jelas. Matanya begitu tajam menatap anaknya sendiri, seolah menelanjangi tubuh Lea. Wajahnya penuh dengan kemarahan. Gestur tegap nan besar yang selalu kutakuti.
Pemandangan seperti ini sudah begitu biasa kulihat. Tapi hatiku tak pernah berhenti berdesir tiap kali ini terjadi.
Tangan berotot pria itu terangkat ke udara, melayang cepat.
"Berhenti!" seruku sembari menangkis lengan ayah sebelum melukai Lea lagi.
Aku menyesal membiarkan Lea sendiri dan pergi keluar cukup lama malam ini. Biar sebenci apapun aku pada sifat seenaknya milik perempuan itu, Lea tetaplah adikku. Kami tumbuh di dalam rahim yang sama dan memiliki ikatan batin yang kuat. Diluar semuanya, aku sangat sayang Lea. Dia satu-satunya perempuan di rumah kami. Aku melihat sosok ibu dalam dirinya. Sebangsat apapun Lea. Karena selain beberapa foto di rak hitam tempat Lea meringkuk, tak ada hal yang bisa kuingat dari ibuku.
Wanita yang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanku. Wanita yang kejam, karena tak pernah membiarkanku melihat dan merasakan kasih sayangnya. Wanita yang membawaku ke jurang nestapa super sulit bersama ayah yang gila. Aku tak mengharapkan kehidupan, kukira akan indah. Tapi tak seorangpun mengingatkanku bahwa hidup sebegini sulitnya.
Bugh...
"Aaaaaaaa!!" Lea berteriak sambil menangis kencang ketika ayah meninju perutku. Kacau, telapak tangannya menutup kedua indera pendengar miliknya. "Jangan, jangan! Ayaah!"
Bugh...
Pukulannya tepat mengenai tulang rusuk bagian kiriku. Sakit. Tapi ini bukan pertama kalinya ayah menghajarku.
"Dasar anak durhaka! Beraninya melawan ayahmu!"
Pasca menghantamkan tubuhku di lantai, ayah menekan leherku dengan jemarinya yang kuat. Kepalaku terantuk dinding di samping nakas.
"Jangan suruh Lea ngelakuin kerjaan kotor itu lagi, orang tua macam apa Anda yang jadi mucikari untuk anaknya, mengorbankan anak perempuannya untuk jadi pelacur, ha? Jawab!"
"Berengsek kamu! Anak kecil tahu apa?"
"Aakhh..." aku menggeram tertahan ketika tangan besarnya menekan leherku lebih keras di kedua sisi. Sial, sepertinya aku akan mati hari ini.
"Jangan menggertak Ayah! Sok mengajari soal kehidupan! Bocah sepertimu tahu apa soal hidup?"
Keringat membasahi tubuhku, rasanya panas. Leherku bagai dihimpit besi hingga dadaku sesak. Aku sudah membuka mulut lebar-lebar tapi tak ada sedikitpun udara yang sudi masuk ke paru-paruku. Keningku berkerut, sesak dan lemas hingga aku tak bisa merasakan tubuhku. Pandanganku hampir hilang tapi aku masih menangkap momen ketika cekikan ayah di leherku terlepas.
Duk, pyar...
Pria itu ambruk ke depan, beberapa detik setelah botol bir yang terkumpul banyak di rumah pecah akibat menghantam kepalanya. Rupanya Lea, ia segera meraih tanganku dan membantuku berdiri. Raut mukanya begitu rumit, seolah segala jenis emosi ada di sana. Ia sama kacaunya denganku.
"Anak sialan!" Ayah menggeram kesakitan sembari memegangi kepalanya yang berdarah. Ia sudah hampir pingsan tapi sangat cukup untuk membuat kami takut. "Kesini! Atau kutangkap kalian, sialan!" Ayah mencoba untuk berdiri tapi akhirnya ia jatuh lagi. Bahkan siku dan punggungnya terkena pecahan botol bir yang berserakan di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Within
Fiksi RemajaNamanya Scarlett. Dia bukanlah gadis yang akan muncul pertama kali di ingatanmu ketika kau mengenang masa lalu. Bukan yang jadi primadona. Tidak juga tipe yang bikin kamu kesal mengingatnya. Scarlett pendiam, tak memberi kesan apapun sehingga ia ham...