10• Satu lemparan telak tepat sasaran

183 31 3
                                    

I don't really care with shit.
I just want to live my first and
last life as best as i can.

[]

Aku sudah mengamati ponsel yang tergeletak di meja selama satu jam.

Tetapi tidak ada perubahan. Benda itu masih bergeming. Beberapa kali kucoba untuk menghubungi Julius namun belum ada balasan hingga kini. Julius bilang ia akan mengajakku ke kafe tempatnya bekerja. Namun di detik-detik terakhir lelaki itu malah menghilang entah kemana. Tidak kehabisan akal kucoba untuk menghubungi Rean. Lelaki itu pasti tahu apa yang dilakukan oleh Julius. Namun, juga tidak ada jawaban dari nomornya. Aku penasaran apakah mereka berdua lupa atau sengaja.

"Tau gitu, dari tadi udah tidur deh."

Aku harus tidur sekarang atau tidak bisa tidur lagi nanti. Beberapa jam dari sekarang pekerjaan paruh waktu ku akan dimulai. Kubaringkan tubuhku dan mulai terlelap ketika benda persegi itu berdering. Dengan malas aku bangkit dan melihat nama yang kutunggu  sedari tadi itu muncul di lock screen.

"Halo." Kataku mencoba tenang dan tidak melampiaskan emosi yang memakanku.

"Scarlet, maaf aku ada urusan mendadak. Kamu masih nunggu ya?"

"Tadinya iya." Kataku dengan nada kesal. "Gajadi nih?"

Lelaki itu terdiam cukup lama. Namun aku tahu sambungan telepon seluler itu masih terhubung karena suara napasnya tetap terdengar. Hingga akhirnya Julius mengatakannya.

"Rean, masuk rumah sakit."

Aku yang semula berbaring langsung menegakkan badan. "Serius? Kok bisa? Kenapa?" Hingga tanpa sadar aku sudah memberondong Julius dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Belum tahu juga. Udah hampir setengah jam dia di UGD."

"Ya ampun. Tunggu deh bentar lagi aku ke sana." Kataku spontan.

"Kesini?" Tanya Julius ragu. "Aku share lokasinya."

Setelah sambungan telepon terputus aku merutuki kebodohanku yang sok-sokan ingin datang menjenguk Rean. Padahal aku sangat malas bergerak sekarang. "Kenapa juga tadi aku ngomong gitu."

Akhirnya aku memaksakan diriku bangkit melawan gravitasi kasur empuk dengan selimut hangatnya. Lalu kembali kuambil ponsel dan menghubungi Jenar. Gadis itu orang yang easy going sehingga ia akan mengiyakannya tanpa banyak ba-bi-bu.

Tak lama setelahnya kami tiba di rumah sakit tempat Rean dirawat. Udara dingin di luar membuat kami berdua menyegerakan diri memasuki bangunan yang didominasi warna putih itu. Seketika bau obat menyemerbak menghujam penciumanku yang terbilang tajam. Jenar memimpin jalanku menuju UGD tempat Rean ditangani. Seperti biasa, langkahnya cepat dan akurat.

Dari kejauhan dalam koridor panjang berwarna putih ini kami dapat melihat Julius menatap resah ruangan di depannya seolah berusaha menerawang apa yang terjadi di dalam. Lalu ada seorang wanita yang sudah tidak muda lagi namun kharismanya masih sangat kuat dan entah bagaimana terlihat mempesona. Wanita itu berdiri di depan pintu sambil menengadahkan tangan, berdoa.

"Gimana Jul?" Lelaki itu baru sadar akan kehadiran kami setelah aku menegurnya. Dia tampak kacau.

"Masih belum." Katanya sambil berdiri dari tempat duduknya.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang