24• Nestapa

137 29 3
                                    

Pagi kembali datang dan dengan cepat digantikan siang.

Siklus yang terus begini membuatku bosan. Aku berjalan ke arah GOR setelah melakukan ujian susulan matematika dan fisika. Bobi bilang akan menunggu di sana. Tapi aku bilang hanya akan datang saja, tidak bermain. Setidaknya, tidak dengan kaki yang makin sering membuatku terjatuh sendiri begini.

"Jul!" panggilku pada rekan seperjuangan yang membelakangiku.

Ia baru saja keluar dari ruang musik dengan gitar akuistik di punggungnya.

"Gak ke kelas lo?" tak menjawab, lelaki itu fokus mengikat tali sepatunya sembari berjongkok. "Lo marah sama gue? Udah kali jangan kayak cewek."

Julius berdiri memandangku sebentar dengan senyuman sinis. "Siapa yang marah tiba-tiba kayak cewek, ha?"

"Ya gausah pake nunjuk-nunjuk."

"Anjing,"

"Haha," aku tertawa keras. "Gini lo, gue ada tiket ke konsernya fourtwenty."

Lelaki itu mengibaskan tangan. Gestur yang artinya abai dan tak percaya. Ia melepas kacamatanya lalu mengurut pangkal hidung dengan kedua jari.

"Doi jadi guest star di dies natalies sekolah sebelah. Gue dapet tiket dari orang dalem."

"Sumpah?"

"Iya gampang. Gue tau nyogok elunya gimana."

Julius berjalan lalu aku mengekorinya. "Lo ngapain emosional banget? Scarlet sama Jenar sampe bela-belain beli buah terus selesaiin ujian lebih cepat biar bisa ke rumah lo."

"Tau, capek gue."

"Kenapa juga tuh rumah dikunci semua, lampunya gak dinyalain lagi. Kalau ada apa-apa lo kan bisa bilang ke gue."

"Iya, maaf. Kemarin gue sakit, nih lihat," kutunjukkan kakiku yang tertutup celana abu khas SMA padanya. "gak sembuh-sembuh."

"Bawa ke dokter gih!"

Aku tersenyum samar. Sudah pernah dan hasilnya malah membuat semakin kacau. Kadang kupikir lebih baik aku tidak mengetahui apapun.

"Ga ada duit. Kemarin aja gue jual hp buat beli obat."

Julius mengernyit hingga langkahnya terhenti. "Serius? Obat apa emang mahal banget? Lha uang hasil kompetisi lo pada kemana?"

Ibu masih belum mengembalikan uang yang dipinjamnya. Padahal saat itu obatku sudah habis, sementara tubuhku tak bisa diajak berdiplomasi. Nenek juga tidak punya uang, terlebih beliau sedang pergi. Tidak etis rasanya membebani perjalanannya dengan keluh-kesahku.

Satu-satunya harta yang tersisa adalah ponsel hitam berumur setahun hasil dari juara tiga kompetisi renang tingkat nasional. Tentu saja aku tidak rela, tapi itu masih lebih baik daripada pasrah dan mati tanpa usaha.

"Kayak gak tau aja. Uang kan encer banget kek air. Tau-tau abis."

"Terus lo gak pake hp?"

"Yang butut itu."

"Kenapa gak pinjem duit gue sih?"

Aku menepuk bahunya, tidak mungkin. Selama ini aku sudah banyak sekali merepotkan Julius. Aku segera berhambur menghampiri Bobi yang sudah bermain dengan anak kelas lain. Julius mengikuti di belakangku.

"Lama amat, Pak!" serunya.

Di sini sudah ada banyak siswa yang bermain futsal. Salah satunya adalah Dino. Lelaki itu juga salah satu bagian dari GI tapi jikalau aku boleh menyombongkan diri, levelnya masih medium.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang