22• Halau

131 28 1
                                    

Berita tentang perkelahian Rean dan Alpha waktu itu menyebar lebih cepat dari gerak cahaya.

Banyak sekali versi cerita yang beredar dari kejadian hari itu. Tapi anehnya, rekaan yang sama sekali berbeda dari kenyataan dan terdengar begitu tidak realistis malah paling banyak dibicarakan. Suatu kebohongan yang terputar terus-menerus akan berkamuflase menjadi kebenaran.

Tampaknya itu adalah kalimat paling tepat untuk menggambarkan situasi ini. Mendadak murid lain semakin banyak yang memandang kearahku dengan cara yang tidak kusuka. Yang bisa kulakukan sampai saat ini adalah membiarkan tatapan itu.

Ujian kenaikan kelas sudah hampir berakhir tapi Rean belum juga menampakkan diri. Begitu pula Alpha. Ia belum masuk sejak kejadian kala itu. Gosip liar semakin berkembang kala kedua tokoh utama dalam cerita tak kunjung muncul.

Tidak ada yang tahu kemana perginya Rean. Julius bilang, pintu rumahnya tertutup rapat, ketukan sekeras apapun takkan berarti. Lelaki itu seolah memblokir semua akses dari dunia luar agar tak mencapainya.

Tidak ada surat yang ia kirimkan ke sekolah bahkan untuk sekadar izin pemberitahuan. Tidak ada guru yang mencarinya juga, bahkan wali kelas atau guru BK. Fredi bilang Rean tidak pernah seperti ini sebelumnya. Teman sekelas sudah datang ke rumah. Tapi seperti tidak ada orang di sana.

"Gue emang kenal dan tetanggaan sama Rean dari kecil. Tapi itu bukan patokan kalau dia gak punya privasi dari gue."

Tidak ada kunci yang bisa membukanya. Rumahnya gelap dan sepi. Entah dimana ia berada, tapi akan lebih baik kalau ada di dalam.

"Di rumahnya gak ada orang?" tanyaku.

Julius menggeleng.

"Neneknya pergi ke Wali Sanga, mungkin besok lusa bakal balik."

Rean pernah cerita padaku kalau ia hanya tinggal dengan neneknya.
"Nanti kalau dia kenapa-kenapa gimana?"

Jenar memutar bola mata, "kenapa gimana? Gak usah deh ngekhawatirin tuh bocah. Palingan juga males."

"Ini tuh ujian akhir, masa kalau gak ada apa-apa Rean bolos karena pengen aja?" tekanku.

"Gini deh, kalian mampir ke rumahnya nanti pulang sekolah gimana?" Julius menatap kami satu per satu. "Siapa tahu dia bakal nongol."

Akhirnya Julius menawarkan opsi itu. Suatu ide yang muncul di kepalaku dua hari setelah Rean tidak masuk. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk menyuarakannya.

Jenar mengerucutkan bibir, "ini rumahnya?" tanya gadis itu ketika kami sudah sampai.

Benar saja, rumah Rean tertutup rapat saat kami mendatanginya. Sepi dan sunyi kecuali suara Jenar yang masih mengetuk dan meneriakkan nama Rean secara tak sopan. Maklum kami sudah berdiri cukup lama.

"Gak ada respon kan? Gimana kalau mampir ke rumah gue dulu?" tawar Julius.

Rumahnya benar-benar dekat dengan Rean, nyaris berdempetan, hanya dibatasi tanaman bunga krisan putih dan kuning. Aku menatap sekeliling. Rumah ini terlihat sangat nyaman. Desain rumah jawa klasik dengan bentuk panjang dan halaman lebar penuh bunga warna-warni cantik. Diteduhi pohon mangga manalagi yang sedah berbuah, menggantung rendah.

"Itu sepedanya emang ditaruh di luar?" tanyaku pada Julius saat mendapati sepeda lelaki itu disandarkan pada batang pohon mangga.

Sepeda yang memanggil memoriku terputar kembali dipermukaan.

"Gak pernah. Waktu gue nyariin dia Selasa pagi sepedanya ambruk di halaman."

"Senin kan dia terakhir masuk ya?" tambah Jenar.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang