There are some things that you
can only learn by storm.[]
Sudah beberapa kali aku dibuat memaki hari ini. Namun aku bergegas bangkit dan segera kubetulkan letak earphone yang sempat lepas karena aksi jatuhku barusan yang sangat tidak elit. Hal itu disebabkan oleh kakiku, mendadak kaku dan nyeri hingga sulit diajak berkoordinasi. Kondisi itu memaksaku menjatuhkan diri pada paving keras berpasir. Genap dua kali sudah aku terjatuh ketika sedang lari pagi dalam hari ini.
Sekitar satu bulan lebih aku tidak berlari mengelilingi blok yang merupakan rutinitas harianku sejak memutuskan untuk menekuni renang. Ada sedikit rasa senang, karena akhirnya aku kembali. Sisanya, penuh umpatan mutiara dan luapan emosi negatif.
Aku memutuskan duduk di lapangan tenis dekat gedung burung walet yang jaraknya 100m dari rumahku. Hari masih pagi, mungkin sekitar jam lima lewat tiga puluh menit. Sinar matahari belum berani membara, semu antara malu namun ingin dan enggan.
Kubaringkan tubuhku di lantai semen bercat hijau itu sembari menikmati embusan oksigen pepohonan yang segar mengisi paru-paruku. Sejenak membiarkan sesak di dada menguap. Tampaknya jika agak lama di sini keringatku akan pergi juga.
Kupejamkan mataku menikmati alunan lagu Please Don't Go dari Joel Adam.
Liburan akhir tahun sudah tiba, tapi aku tidak memiliki banyak agenda seperti biasanya. Mungkin tahun ini akan banyak kuhabiskan di rumah. Lagipula apalagi yang bisa kulakukan. Peringkat satu paralel di jurusan saintek seangkatan yang kuraih membuat nenek tersenyum sumringah. Hanya sebatas itu saja. Nanti juga, semua itu akan pergi. Begitu cepat, tanpa disadari sudah hilang.
Kududukkan tubuhku dan jelas celana training abu kesayangan sudah bolong di bagian lutut. Menampakkan luka menganga yang merah namun tidak begitu mengenaskan. Hanya saja sedikit perih. Tapi ada sakit yang tidak tertahankan di sana. Sakit yang membuatku memutuskan untuk berhenti lari tadi.
Kuraih tabung obat dari saku celana, mengambil sebutir lalu menenggaknya dengan air mineral dalam botol berukuran satu liter. Beginilah rutinitasku. Memuakkan. Bergantung untuk hidup selain dari tangan Tuhan. Dan tempatku bergantung adalah tabung kecil berisi pil-pil putih ini. Yang tanpanya aku bukanlah apa-apa, atau mungkin aku tidak bisa hidup lagi.
Meski aku tidak bisa berjuang dengan renang lagi. Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka yang sebenarnya menurutku, waktu tak pernah menyembuhkan. Ia hanya mengajakmu terbiasa dengan sakit.
Saat ini keinginanku untuk hidup jauh lebih besar dari apapun. Setidaknya aku tidak mau mati karena ini sekarang. Aku hanya ingin berusaha semampuku. Aku ingin membuktikan padaku kalau aku kuat, beban ini bukan apa-apa. Aku bisa.
Dokter Adam bilang banyak hal soal metode pengobatan selain rawat jalan. Operasi dan kemoterapi adalah salah satunya. Kondisiku semakin buruk, akan makin parah kalau tidak segera diatasi, begitu katanya. Tapi ya gila saja. Sampai kapanpun aku tidak akan memilih opsi itu. Aku ingin sembuh, tentu. Tapi kemoterapi itu mahal apalagi operasi. Uang darimana lagi? Aku tidak mau terus merepotkan nenek. Sudah bisa makan, bayar sekolah, dan minum obat tepat waktu saja aku sangat bersyukur.
Tidak perlu operasi atau kemoterapi. Apalagi efek samping metode pengobatan itu benar-benar mengerikan. Jadi, terimakasih saja.
-----
"Nek, aku mau ke GI." pamitku sembari meneguk air di dapur pada wanita yang sedang menonton acara miniseri disalah satu stasiun TV swasta itu.
"Latihan lagi kamu?"
"Enggak kok, Nek. Cuma renang. Lagian Rean kangen lama gak ke sana."
Wanita itu mengangguk. Kucium telapak tangannya sebelum pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Within
Fiksyen RemajaNamanya Scarlett. Dia bukanlah gadis yang akan muncul pertama kali di ingatanmu ketika kau mengenang masa lalu. Bukan yang jadi primadona. Tidak juga tipe yang bikin kamu kesal mengingatnya. Scarlett pendiam, tak memberi kesan apapun sehingga ia ham...