5

1.9K 64 0
                                    


"Selamat pagi semua!" Seru Dhisa sambil berjalan ke arah ruang makan yang sudah dipenuhi oleh mami,papi,dan Revan sang kembaran kampret nya.

"Tumben lo,bangun pagi sekarang?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Revan.

"Iya dong, pengen aja gitu bangun pagi kayak anak-anak rajin, se-menyenangkan apa sih?" Ucapnya sedikit ambigu.

"Sok banget pengen jadi anak rajin, biasanya juga bikin rusuh mulu di sekolah," cibir Revan, membuat Dhisa mendelik ke arahnya.

"Kalo di sekolah gak nakal itu gak ada kesan sama sekali, hari-harinya cuma diisi sama belajar dan belajar terus, bisa-bisa lelah nih otak kalo di pake terus." Tuturnya.

"Justru mami pengen kamu kayak Revan, bisa banggain mami sama papi setidaknya lewat jalur prestasi lainnya," ujar sang mami dari arah dapur.

"Nah bener tuh, papi pengen anak-anak papi itu punya bakat semua, seusai di bidang yang ia kuasai," timpal papinya.

Dhisa yang mendengar hanya mendumel dalam hati, apa-apa pasti harus punya bakat, kalo gak punya pasti ujung-ujungnya dibanding-bandingin sama kembarannya. Nasib jadi anak kedua apalagi punya kembaran yang jauh beda darinya.

"Kamu denger kan apa kata papimu?" Tanya maminya.

Dhisa hanya mengangguk sebagai jawabanya. Sedangkan Revan hanya menahan senyumnya.

"Kenapa lo? Kalo mau ketawa, ketawa aja gak usah di tahan." Tukas Dhisa kesal.

"Satu lagi mami pengen kamu itu sedikit anggun, jangan bar-bar kayak gini," ujar sang mami.

Membuat Dhisa benar-benar jengah sendiri. Kenapa banyak sekali peraturan yang di tetapkan, bahkan hal itu sedikit membuat Dhisa terganggu.

"Oh ayolah mi, mami tau kan kalo Dhisa tuh dari kecil emang udah kayak gini, kalo di rubah lagi pun susah," ucapnya lesu.

"Ya maka dari itu belajar dari sekarang," ujar maminya tak mau kalah.

"Bukannya mami juga sewaktu SMA dulu kayak gini ya?" Tutut Dhisa

"Kata siapa?" Dengan mata mendelik

"Kata papi," ujar Dhisa polos.

Sedangkan sang papi hanya menampilkan deretan gigi putihnya.

"Bang, mendingan kita berangkat langsung aja yuk, pastinya setelah ini bakal ada kembang api meledak," ucap pelan Dhisa.

Seolah mengerti Revan pun langsung mencekal tangan Dhisa dan pergi tunggang langgang tanpa berpamitan lebih dahulu.

Sedangkan sang mami sudah menatap sengit papinya yang masih setia menampilkan deretan gigi putihnya.

"Mi, mami cantik kalo lagi marah kayak gini, papi berangkat dulu ya," pamitnya

Namun tepat beberapa langkah maminya berteriak membuat sang papi menutup telinga dengan kedua tangannya. "Papi...." Serunya.

Sementara Dhisa dan Revan yang masih berada di pekarangan rumahnya tertawa bahak.

"Gue yakin setelah ini pasti elo kena damprat mami, Dhis." Masih dengan tawa kecilnya Revan berucap.

****

"Tumben lo berangkat pagi, lagi tobat lo ya?" ujar Zara yang menampirkan tas nya yang berada tepat samping Dhisa.

Dhisa yang mendengarnya memutar bola mata jengah. Apa-apa pasti di omongin gak di rumah, di sekolah juga kena.

"Kesambet setan puas lo, heran gue kenapa sih berangkat pagi salah siang apalagi," gumam Dhisa setelahnya.

Sedangkan Zara hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Apakah dia salah bicara?

"Woyy,tumben berangkat pagi," seru Meicha yang baru datang.

Membuat Zara dan Dhisa terlonjak kaget karenanya.

"Ini lagi, apakah ada pertanyaan lain selain itu," tukas Dhisa.

Membuatnya melenggang pergi meninggalkan kelas pagi itu. Meicha hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Apa gue salah bicara?" Gumamnya namun masih bisa di dengar oleh Zara.

Sedangkan Dea dan Rissa yang baru datang hanya bisa mematung melihat Dhisa yang baru keluar dari kelasnya.

"Kenapa tuh anak?" Tanya Rissa setelahnya.

Dea hanya mengangkat bahu tanda tak tahu.

Sedangkan Dhisa yang sudah melangkah menjauh dari area kelasnya masih kesal dengan teman-temannya itu.

Bahkan mulutnya pun tak henti-hentinya mendumel tak jelas. Hingga ketika belokkan koridor ia menabrak seseorang dan sukses mendarat dengan cantiknya.

"Anjir, bokong gue," serunya.

Sedangkan yang menabrak hanya menatap nya dan tak ada niatan sekalipun untuk menolong. Bahkan koridor kala itu tampak banyak sekali murid yang behilir mudik.

Dhisa mendongakkan kepalanya ingin tau siapa yang menabrak nya.

"Heh kenapa sih dimana-mana ketemu elo mulu, bosen tau nggak," seru Dhisa sambil mengibaskan roknya yang kotor.

"Emang nya gue gak bosen gitu liat elo lagi, elo lagi yang gue tabrak." Sambil memutar bola matanya kesal.

Membuat Dhisa hanya menatapnya sengit, bahkan mengepalkan tangannya sedikit emosi. Sedangkan cowok yang menabraknya tadi hanya melihat ekspresi Dhisa dengan menahan senyumnya.

"Kenapa lo? Kalo mau ketawa, ketawa aja gak usah ditahan kek gitu," tukas Dhisa.

Dia sama sekali tak menggubris ucapan Dhisa, bahkan langsung tunggang langgang meninggalkan Dhisa yang saat ini masih menatapnya kesal.

"Eric gue doain gak dapet jodoh loh," seru Dhisa.

Membuat yang ada di koridor kala itu mendelik nya kesal, tepatnya fans-fans Eric.

Sedangkan Eric tetap berjalan terus tak menghiraukan ucapan yang dilontarkan oleh Dhisa.

"Kenapa kalian, mau nerkam gue, silahakan gue gak takut," ucap Dhisa

Sambil meninggalkan koridor yang masih ramai dengan murid-murid.






"Gue santet semua baru tau rasa," gumamnya.

****

TBC.

[1]RICSHA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang