Chapter 1

2.5K 71 0
                                    

KALIMANTAN

"Apa yang antum sekalian baru lihat hanyalah sedikit dari kezaliman yang para zionis itu sebarkan di negeri para nabi. Ana dan para sahabat yang lain serta para syuhada hanya merasakan sedikit dari apa yang saudara-saudara kita rasakan di sana. Di sana...."

"Di sana...."

"Kami melihat keluarga yang diporak porandakan. Istri yang kehilangan suaminya, ayah yang kehilangan anak-anaknya, dan anak-anak..."

"Subhanallah! Mereka adalah yatim yang dilindungi Al-Qur'an, mereka adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai sesama umat islam. Jadi bergabunglah dengan kami, bergandeng tanganlah dengan kami, dan insyaAllah, apa-apa yang antum sekalian amalkan, sedekahkan, hibahkan, akan menjadi amalan jariyah yang insyaAllah tidak akan putus sampai raga ini mati. ISLAMIC CENTER FOUNDATION, membuka pintu untuk memberi akses antum sekalian agar bisa meringankan sedikit penderitaan saudara-saudara kita yang ada di sana, di negeri para nabi, di tempat 90 % hafidz tumbuh dan dibesarkan, di tempat di mana insyaAllah, Allah berkahi dengan Jannah sebagai ganti ujian yang ditimpakan pada mereka. Jazakillah khairan katsir. Ana, Hafidz Ali Saujana, Wa salamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh."

"ALLAHU AKBAR!!!!"

"ALLAHU AKBAR!!!!"

"ALLAHU AKBAR!!!"

"ALLAHU AKBAR!!!"

Takbir menggema bersahut-sahutan setelah seorang pria menyelesaikan ajakannya, niatnya, dan ikhtiarnya bersama para sahabatnya yang lain yang tergabung dalam komunitas pembela islam, ISLAMIC CENTER FOUNDATION, yang diketuai oleh seorang pengusaha sekaligus alim ulama yang memiliki visi dan misi yang sama, keinginan yang sama, meningkatkan ukhuwah islamiyah, menegakkan islam, dan melindungi islam dari ancaman zionis dan lainnya.

Ini bukan tentang agama, ini bukan hanya tentang islam semata, ini tentang kemanusiaan, kemanusiaan yang ingin mereka tegakkan bersama.

***

"Orasi ente luar biasa, dalam hitungan menit sudah ditonton lebih dari 1 juta viewers dan galangan dana yang masuk juga MasyaAllah." Ucap seorang admin ICF ketika si Orator telah tiba di belakang panggung, di ruang ganti para performer acara takbir akbar mereka malam ini.

"Alhamdulillah, tapi afwan akhii, ana harus segera berangkat ke bandara. Sisanya tolong diurus." Jawab sang Orator sambil memeriksa barang-barang pribadinya. Alhamdulillah, ada semua.

"InsyaAllah. Jadi juga ente pulang kampung. Kirain sudah jadi tetua metropolitan di ibukota."

"Ah, akhii bisa saja. Ana harus balik dulu ke Jakarta menemui Abi dan Ummi yang sedang menghadiri seminar di sana, setelah itu baru sama-sama ke Bandung. Usia ana sudah lapuk bagi orang tua ana. Jadi ana akan pulang untuk menikah."

"MasyaAllah! Siapa calonmu, fidz? Anak kyai kah?" Tanya Si Admin terkejut dengan apa yang dikatakan ustadz muda itu.

Hafidz Ali Saujana, si Orator itu, pria 25 tahun yang dibilang lapuk oleh abi dan umminya, menggeleng dengan senyuman manisnya.

"Loh? Kok geleng?" Tanya Si Admin bertubuh tambun itu keheranan.

"Ana belum tahu. Katanya sih anak sahabat Abi dan Ummi. Ana sih nurut saja akhii, apa yang diridhoi Abi dan Ummi, insyaAllah diridhoi Allah. Kan kita menikah memang untuk mencari keridhoan Allah. Benar tidak?"

"MasyaAllah. Ya. Ya. Kau benar hafidz. Menikahlah bujang lapuk. Begitu undangan siap, jangan lupa kirim satu ke ane."

"InsyaAllah." Jawab Hafidz sambil memegang dadanya, tak lupa senyum ramah yang selalu ditunjukkannya.

"Bukan insyaAllah kalau kata anak jaman now, Fidz." Sanggah si Admin membuat langkah mereka berdua terhenti.

"Lantas?" Tanya Hafidz dengan dahi yang mengerut tapi tak sedikitpun mengurangi ketampanannya.

"Asiaaapp."

Hahaha. Mereka pun tertawa sebelum akhirnya Hafidz benar-benar pergi meninggalkan si admin guyon itu.

***

JAKARTA

Matahari ibukota bersinar terik. Nanaz, panggilan akrab remaja berusia 16 tahun sedang berada di sebuah pemukiman kumuh di belakang komplek apartemen mewah milik kakaknya. Matanya yang berbinar cerah langsung padam ketika melihat beberapa anak dihadang oleh preman jalanan.

"Berani sekali kalian, cepat serahkan semua duit tuh!" Teriak si Preman bertato tiger di lengan kanannya.

Bug.

Preman kurus bertato itu tersungkur karena tendangan maut Nanaz yang memang mahir bela diri silat.

"Sialan! Beraninya lu!"

Dan terjadilah pertarungan sengit antara preman bertato dan gadis yang tidak nampak jelas karena topi Nike yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi dari sorakan anak-anak yang ia bela, mereka tahu persis siapa pendekar wanita itu. Dia adalah Alya Syahnaz, alias Kak Nanaz, remaja yang biasa mengunjungi mereka sewaktu-waktu.

"Pergi! Gue liat lo lagi di sini, gue bikin lo lebih bonyok." Ancam si pendekar setelah menendang si Preman yang langsung mengumpatnya. Tapi dia sudah kalah, jadi si Preman lari kocar kacir. Berakhir? Belum. Karena Preman bertato tiger itu pasti akan balas dendam dengan membawa backingannya.

"Yay yay... kak Nanaz hebat. Yay yay.." sorak anak-anak yang berjumlah lima itu membuat Nanaz tersenyum. Dia yang merasa kepanasan lalu membuka Nike putih yang menutupi sebagian wajahnya. Dan ketika penutup itu dilepas. Terlihat jelaslah di sana. Paras manis dengan rambut panjang hitam terkuncir kuda, manik jeli sejeli manikam kalimantan, hidung mungil yang entah kenapa terasa pas dengan bibir tipisnya yang menggemaskan. Bahkan terlihat dari lensa kamera saja sudah sedemikian indah apalagi jika dilihat langsung.

"Astagfirullah!" Sebut Hafidz yang sedang bertengger di atas pohon waru, membidik kehidupan sosial ibukota, bahan untuk karya barunya.

Hafidz yang masih bisa merasakan angin menyejukkannya di tengah teriknya memegang dadanya. Dada yang tak pernah bergemuruh begitu hebatnya.

"Apa ini Ya Rabb? Kenapa gemuruh ini datang sekarang?"

Hafidz masih memegang dadanya dengan hembusan angin yang lebih menyahdukan perasaannya.

Setelah gemuruh itu sedikit mereda, Hafidz turun dari pohon waru tua nan besar itu. Diambilnya daun kering berbentuk hati yang berserakan di kakinya.

Dia indah

Seindah dirimu wahai waru

Kering, coklat tak berarti

Tapi mampu menarik simpati

Ah, waru

Apa yang harus aku lakukan dengan gemuruh ini?

Dia memang indah

Namun bukan untukku

Bagaimana bisa untukku, jika aku sudah dihitbahkan pada yang lain

Ah, kenapa dia datang menggoda imanku sekarang?

Rasa-rasanya aku hampir tak bisa menahan

Duhai Rabb pemilik Cintaku yang sejati

Jauhkanlah hasrat terlarang ini

Dan kuatkanlah hambamu yang manusia ini

Dalam menapik keinginan hati

Demi mengejar ridho Ilahi

.

.

.

.

.

Hafidz Ali Saujana

Surga di Taman Hati

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang