Chapter 8

761 58 1
                                    

"Mulai saat ini, kamu akan tinggal di sini dan mengenal kembali syari'at bersama para santri yang lain. Faham?"

Nanaz melihat ke arah Ummi yang duduk di samping pria tegas berwangi kayu manis di hadapannya. Dia adalah Kyai Mustafa, atau pria yang biasa Nanaz panggil Abi. Istri Kyai itu tersenyum. Seakan-akan mengatakan, semua akan baik-baik saja.

Nanaz memang selalu takut pada wibawa Abi. Entah kenapa dia selalu bisa dibuat tunduk oleh pria itu. Jika Ummi dan Hasna selalu memanjakannya, maka lain cerita dengan Abi. Beliau selalu berkata lembut tapi ketegasan sebagai seorang ayah dan tenaga pengajar darinya tidak perlu diragukan lagi.

"Nanaz nggak mau." Sahutnya singkat, membuat raut kecewa muncul di wajah suami istri yang tengah bersamanya.

"Apa kau tahu apa yang terjadi padamu sebelum kau dibawa ayahandamu kemari, Alya?"

Nanaz menatap mata tajam itu. Kalau dipikir-pikir, Nanaz memang tak ingat apa yang terjadi saat itu. Mungkin karena dia mabuk. Ya, dia pasti mabuk saat itu. Memangnya apa yang terjadi saat itu?

"Kau tidak ingat, bukan? Kalau begitu, biar orang tua ini yang cerita. Kau dibawa kemari dalam keadaan mabuk. Ayahmu menangis-nangis pada Nyai. Mengatakan betapa ia telah gagal menjadi seorang ayah, betapa dia berharap kami di sini bisa membantunya untuk mengembalikan kembali putri yang ia cintai, kamu, kembali pada syari'at agama. Bukan mabuk-mabukkan, clubbing bahkan hampir dinodai seorang pria tak bertanggung jawab."

"Apa?" Nanaz bergidik ngeri. Apa Abi sedang membicarakan tentang Raymond? Raymond hampir menodainya?

"Ya. Alya Syahnaz. Ayahmu alhamdulillah berhasil melacak keberadaanmu lewat GPS dan menyelamatkanmu dari kenistaan. Apa kau bisa bayangkan jika kau menjadi ayahmu? Menemukan putri yang ia cintai merusak dirinya sendiri?"

Mata Nanaz menyalak. Itu bukan sepenuhnya salahnya. Ayah dan Bundanya lah yang telah menelantarkannya. Dia hanya berusaha mencari kebahagiaan di luar sana. Itu saja.

"Kenapa? Mau menyalahkan Ayahmu? Bundamu?" Tanya Abi seolah-olah tahu apa yang dipikirkan gadis 16 tahun itu.

"Tidak semua yang Allah yang rahasiakan itu buruk, Nak. Abi tahu orang tuamu, Abi pun tahu apa yang sedang mereka alami. Kalaupun mereka terlihat mengabaikan, itu hanya karena mereka menjaga perasaanmu. Abi dengar kamu bahkan mengeluarkan kata-kata benci pada Ayahmu. Demi Allah, Alya! Bagaimana jika Allah mengambil Ayah dan Ibumu detik itu juga? Bagaimana jika kau kembali nanti, ayah dan ibumu telah terbujur kaku. Jangankan untuk mengatakan cinta, bahkan untuk mengatakan bencipun kau takkan bisa. Dan Abi berdo'a semoga kau tidak menyesal bila masa itu tiba."

Mata Nanaz terbelalak. Kenapa Abi mengatakan kata-kata menyeramkan seperti itu? Nanaz mungkin membenci ayah dan Bundanya saat ini, tapi untuk kehilangan mereka? Tidak! Nanaz tidak siap. Bahkan membayangkannya saja, Nanaz merasakan sesak di dadanya.

"Kalau pun ada sesuatu yang mereka sembunyikan demi menjaga perasaan Nanaz, lantas apa, Bi? Kenapa mereka lebih memilih Nanaz membenci mereka?" Isak Nanaz yang tak ia tahan lagi.

Ummi menghampiri Nanaz dan membawa gadis 16 tahun itu ke dadanya. Turut iba padanya.

"Buktikan kalau kau adalah Alya Syahnaz yang dulu mereka banggakan saat kau datang kemari. Tinggalah di sini. Kembalilah pada syari'atmu sebagai seorang muslimah. Dan lepas itu, Abi sendiri yang akan mengantarkanmu dan memaksa mereka mengatakan hal yang mereka sembunyikan."

Nanaz menatap pria 45 tahun di hadapannya. Pria itu tidak main-main dengan ketegasannya. Membuat Nanaz terintimidasi. Gadis 16 tahun yang bahkan belum tahu cara merenungi diri itu dipaksa memilih. Sayangnya, pilihannya hanya satu.

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang