Chapter 6

780 60 0
                                    

Jangan salahkan Hafidz jika ia akhirnya berzina mata dengan bidadarinya. Jangan salahkan Hafidz juga jika ia mendapat sedekah pemandangan yang bukan menjadi haknya. Hafidz bukan sekali ini melihat perempuan tak berhijab. Dia melanglang buana sebagai PR ICF. Dia mengelana ke berbagai negara untuk misi ukhuwah islamiyahnya. Di masa-masa itu, ratusan, ribuan atau bahkan jutaan perempuan tak berhijab dan lebih parah, hilir mudik tanpa bisa ia hindari. Tapi ini beda. Ini Gemuruh jiwanya, Bidadari di Taman Hatinya, Pendekar cilik yang ia tangkap lebih dahulu dengan XLRnya sebelum ia tangkap dengan hatinya. Dia...

MasyaAllah!

Lihatlah bagaimana Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk! Ilah bahkan menciptakannya begitu sempurna versi Hafidz dalam wujud seorang Nanaz.

Ah! Ingin sekali Hafidz tahu siapa nama lengkap bidadari belianya ini. Rasa-rasanya kok tak pas jika Gemuruh Jiwanya ia namakan Nanaz. Ya, tapi apa mau dikata. Bertanya lebih jauh malah akan mendatangkan curiga. Walau Hafidz belum pernah bertemu dengan amanah jodoh orang tuanya, tapi kedua belah pihak orang tua telah sepakat dan seorang Kyai Mustofa pantang membelotkan amanah. Nanaz bukanlah untuknya, Hafidz pun berpikir mustahil menghitbahnya.

Bolehkah rasa ini ada sampai akad itu tiba?

Bolehkan gemuruh ini mengembangkan sayap di dalam dadanya?

Ah! Hafidz. Kemana kepintaran magistermu?

Kenapa kau jadi idiot seperti ini?

Bagaimana tidak idiot?

Lepas kepergian bidadarinya, Hafidz masih saja membeku. Dia ingin sekali melangkahkan kakinya ke luar dan membahagiakan hasratnya, tapi dia tahu itu salah. Menzinahi mata dengan sengaja itu juga bagian dari kejahatan syahwat.

Lalu Hafidz harus bagaimana?

Tidak ada. Karena dia bahkan tak tahu bagaimana mengendalikan perang batin dalam dadanya.

'Rambutnya seindah sutra Ya Rabb.'

'Matanya seindah manikam kalimantan.'

'Hidungnya mungil menggemaskan.'

'Dan bibirnya.'

"Astagfirullah. Astagfirullah. Astagfirullah."

Hahaha.

Seorang Nanaz sukses memporak porandakan benteng hati seorang Hafidz. Pria itu mondar-mandir tak tentu arah setelah mengunci kamarnya yang hampir rapi kembali. Bukan tanpa sebab. Hafidz tidak yakin dia siap melihat kembali bidadari Taman Hatinya itu. Bukan tak mungkin dia bisa masuk kembali kan?

Tok tok tok.

"Hafidz! Hafidz!!"

Glek.

Hafidz yang sadar akan kebodohannya langsung ke pintu dan membuka pintu kamarnya yang ia kunci dengan alasan konyol.

"Ya, Teh?" Tanya Hafidz polos setelah membuka pintu kamarnya.

"Kenapa atuh dikunci?" Tanya Hasna yang kebingungan dengan tingkah adik satu-satunya itu.

"Afwan, Teh. Tadi..." Otak Hafidz berputar menyusun kata, tapi tidak ditemui jua rangkaian yang bisa ia ucapkan tanpa berdusta.

"Sudah sudah. Adek bangun karena mimpi buruk, teteh mau temani dia dulu ya. Kalau sudah kamu langsung ke pondok ya. Jangan terlalu lama di sini, para santri sudah tahu ada tamu gadis di sini, nggak enak kalau jadi omongan." Ucap Hasna cepat lalu mendorong ke belakang kursi rodanya.

"Iya, Teh. Tinggal buang sampahnya aja kok." 'Alhamdulillah. Hampir saja ana berbohong padamu, Teh.'

"Hmm. Walau bagaimanapun, Adek bukan mahram kamu Fidz, jadi teteh mohon pengertiannya. Psikisnya masih labil saat ini."

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang