"Nambah?" Tanya Hafidz ketika dia memberikan suapan terakhir pada istrinya.
Nanaz menggeleng. Dia bisa merasakan dingin ketika Hafidz meletakkan tangannya di kening Nanaz yang demam karena kehujanan dan kurang makan.
"Masih demam. Aku ambil obatnya dulu." Ucapnya lagi yang masih tak mendapat sahutan. Hafidz tidak akan memaksa Nanaz. Dia tidak diusirpun sudah alhamdulillah baginya.
Setelah memberikan obat flu kepada Nanaz, Hafidz membantu Nanaz untuk tidur. Menarik selimutnya dan menyelimuti Nanaz seperti ayah kepada anaknya. Sayang dan penuh perhatian. Setelah itu, Hafidz duduk di sisi ranjang.
"Kami harus kembali ke ponpes, kasihan Teh Hasna sendirian. Aku akan kembali saat nujuh hari untuk menjemputmu. Hmm?"
Nanaz mengangguk pelan dan lebih menurunkan kepalanya, berusaha untuk tidur. Kepalanya pusing dan tenggorokannya pun sakit.
Tanpa ijin, Hafidz mengecup lembut kening Nanaz membuat pipi Nanaz semakin panas.
"Laisal hubbu a'n nabqo daaiman bi janaabi man nuhibbu, wa laakinal hubbu an nabqo fii qolbi man hunib." Ucap Hafidz yang mendapat kerutan di dahi Nanaz. Nanaz memang baru mengenal bahasa Arab, Hafidz memakluminya.
"Cinta bukan berarti kita selalu berada di sisi orang yang kita cintai, tapi cinta itu adalah tat kala kita berada di dalam hati orang yang kita cintai."
Nanaz bersemu merah jambu, membuat Hafidz tersenyum bahagia. Mungkin inilah perasaan baginda Rasulullah tat kala melihat Aisyah, si pipi kemerah-merahan. Tak pernah Hafidz sangka istrinya bisa semanis ini. Biasnya juga manis, tapi manis garang dan tukang manyun.
"Aku akan memenuhi persyaratan yang kau ajukan pada Ayah sebelum menerima pernikahan ini. Aku tidak akan mengambil hartamu sampai kau siap dan menyerahkannya padaku. Tapi biarkanlah aku membahagiakan diriku dengan sekedar mengecup ataupun memegang tanganmu. Itu sudah lebih dari cukup bagiku saat ini. Bolehkah?"
Nanaz hanya menatap mata suaminya yang ternyata begitu bersinar, wajahnya pun ternyata sangat tampan, pantas saja semua santriwati mengidolakannya dan mengkhayalkannya jadi suami. Tapi nyatanya malah Nanaz, yang jelas-jelas antipati padanya yang menjadi kekasih halal ustadz muda ini. Ah, entah kenapa Nanaz jadi merasa bangga. Terlebih Hafidz selalu memperlakukannya dengan manis dan lembut.
"Aku anggap diammu sebagai iya. Aku harus berangkat sekarang. Jangan membuat Ayah dan kakakmu khawatir ya?"
Nanaz mengangguk pelan, lalu segera mencoba tidur. Mengabaikan pipinya yang semakin panas lagi karena Hafidz sempat mencuri ciuman pertama Nanaz sebelum pergi.
'Apa ini Ya Rabb? Kenapa dada ini dag dig dug seperti ini?' Batin Nanaz yang sudah berada di balik selimut sepenuhnya.
***
Seminggu telah berlalu. Nanaz pun sudah kembali ke pesantren dan bersikap layaknya santri yang lainnya. Tinggal di kamarnya bersama tiga santriwati yang lain, menjalani segala rutinitas kesantriannya. Apalah daya bagi Hafidz harus berjauhan dengan istrinya meski mereka berdekatan. Hafidz terlanjur menyetujui 3 syarat yang diajukan Nanaz ketika gadis itu menerima pinangannya.
Satu. Merahasiakan pernikahan mereka di ponpes demi ketenangan Nanaz dalam belajar karena dia tidak ingin pernikahannya jadi bahan gunjingan, terlebih seisi ponpes tahu jika Nanaz lebih sering membuat masalah ketimbang prestasi sejauh ini.
Dua. Tidak memaksa Nanaz untuk menyerahkan hartanya yang paling berharga sampai Nanaz merasa siap.
Tiga. Meminta Hafidz memperlakukannya sama seperti santri-santri yang lain agar tidak mendatangkan kecurigaaan bagi yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA DI TAMAN HATI
RomanceAlya Sahnaz adalah remaja metropolitan kebanyakan. Pergaulan telah menjadikannya urakan dan tidak tahu aturan. Lalu bagaimana jika sang ayah akhirnya memasukkannya ke pesantren yang tidak disukainya? Akankah Nanaz bertahan di pondok yang ketat denga...