Chapter 18

698 47 3
                                    

Senyum masih terkembang di wajah tampan Hafidz ketika dia sudah kembali ke Darus Salam tepat waktu ashar. Dia pun segera ke mesjid besar sembari sesekali melirik Nanaz yang berada dalam radius 5 meter di belakangnya.

Hari ini adalah hari minggu, sebagian santri yang tempat tinggalnya dekat Darus Salam memanfaatkan waktu untuk pulang ke rumahnya, sedang sebagian lainnya mengikuti kegiatan weekend yang rutin diadakan.

Hafidz ingin menutup kebersamaan mereka dengan mengimami bidadarinya itu, walau harus bergabung dengan para santri dan penghuni Darus Salam yang lain, tapi itu tak mengurangi antusiasnya.

Setelah sholat Ashar berjama'ah, Hafidz hanya bisa menghela nafas ketika Nanaz bahkan tak meliriknya sama sekali. Dia hanya ketawa-ketiwi bersama teman sekamarnya yang kebetulan ikut sholat berjama'ah juga.

Tidak terbayang bagaimana dia akan menahan kerinduannya lagi kepada istrinya itu. Sudah bisa dipastikan jika Nanaz pasti akan mengambil aksi pura-pura tidak ada hubungan sama sekali dengan Hafidz. Seperti yang sudah-sudah.

***

"Assalamua'alaikum, Den!" Sapa Mang Ujang ketika Hafidz baru tiba di pondok pribadinya.

"Wa'alaikumus Salam warahmatullah." Balas Hafidz yang meletakkan kembali laptop yang biasa ia gunakan untuk pekerjaannya.

"Ya, Mang, Kunaon?"

"Punten Den, disuruh ke rumah sama Kyai. Aya tamu."

"Tamu?" Tanya Hafidz yang penasaran.

"Iya Den. Ditunggu segera."

Sepertinya mamang tidak mengenalnya, kalau tahu dia pasti langsung memberitahu anak majikannya itu.

Hafidz merapikan kopiahnya lalu menuju rumah orang tuanya yang berada di posisi terdepan dari keseluruhan komplek ponpes Darus Salam. Dahinya mengerut ketika dia melihat sedan mewah bertengger di pekarang rumah kasepuhan modern orang tuanya.

*

"Assalamua'alaikum." Sapa Hafidz yang langsung disahuti oleh beberapa orang yang ada di ruang tamu.

Perasaan Hafidz tak enak ketika dia melihat Suyoto Danudirja, donatur terbesar pondok yang sudah menjadi rekanan selama sepuluh tahun terakhir. Karena beliaulah, Darus Salam tidak pernah kekurangan dana operasional atau bahkan dana kegiatan yang diselenggarakan. Ada apa gerangan?

Hafidz melihat Hasna dirundung sedih setelah membantu membawakan kupadan dibantu Ummi. Hasna kembali ke kamar, sedang Ummi menempatkan diri di samping Abi. Suasana terasa begitu tegang.
Perasaan Hafidz semakin tak enak.

"Hafidz, Pak Danudirja datang kemari membawa lamaran padamu." Ucap Abi berat.

'Lamaran?' Batin Hafidz terkejut.

"Afwan, Pak Danu, tapi bukankah ayahanda saya telah memberitahu bapak bahwa saya telah menikah?" Tanya Hafidz tak mengerti.

"Saya tahu, tapi bukankah lumrah bagi seorang ustadz memiliki istri lebih dari satu?"

Mata Hafidz menyalak dan menatap Abinya yang serba salah. Apa yang diinginkan orang kaya ini?

"Tapi afwan, Pak. Saya tidak berniat berpoligami. Cukuplah satu istri bagi saya. Saya takut tidak bisa berlaku adil."

"Saya percaya sama kau Fidz. Perkataan kau barusan sudah cukup menjelaskan seberapa tanggung jawabnya kau sebagai seorang pria. Nissa bukanlah tak laku. Hanya saja, dia mencintaimu dari dulu dan dia bertahan dari kecil berada di sini, semata-mata karena dia tahu, kau anak pemilik ponpes ini."

"Afwan sekali lagi, Pak. Saya yakin Nissa akan mendapatkan jodoh yang baik nanti, tapi maaf, bukan saya orangnya."

"Ayolah Nak Hafidz. Saya mendonasikan banyak dana di sini karena saya yakin kau dan Nissa mempunyai masa depan yang indah. Istrimu pasti akan mengerti. Dia istri seorang ustadz, dia pasti mengerti kodrat poligami seorang ustadz. Lagipula apa kurangnya putriku Qoirun Nissa? Dia cantik, khatam 21 Juz, insya Allah sholehah dan pesantren ini akan selalu tercukupi, bagus bukan?"

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang