Chapter 3

857 62 0
                                    

JAKARTA

"Nanaz? Sedang apa kamu di sini, dek?" Tanya Alvian Mahendra, artis rock kacangan yang terkejut melihat adik perempuan satu-satunya ada di apartemennya.

"Nanaz kabur dari rumah." Jawab sang adik singkat.

"Ck! Pulang sekarang. Kakak nggak mau ribut sama Ayah gara-gara kamu. Ayo, kakak anterin."

Nanaz melotot melihat kakaknya yang tidak peka. Apa tidak ada satu orang pun yang peduli padanya?

"Kenapa? Kakak juga ngerasa terbebani karena ada Nanaz di sini? Gitu?"

"Apa sih, Naz? Jangan ngawur deh. Kakak cuma nggak mau ribut lagi sama Ayah karena disangka membawa pengaruh buruk buat kamu. Kamu tahu sendiri di mata Ayah, kakak ini cuma anak yang selalu mengecewakan."

"Kalian semua egois. Bunda sama Ayah sibuk terus, kakak juga bisa hidup bebas sesuka kakak, sedang Nanaz? Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Emang salah kalau Nanaz cari kebahagiaan di luar? Lagi pula, emang ada yang kasih kebahagiaan ke Nanaz di rumah? Enggak kan?"

Situasi sudah benar-benar panas. Sudah tidak terkendali. Nanaz yang datang dan berharap secuil perhatian dari sang kakak malah diusir begitu saja.

"Bukan gitu, Naz. Kamu ini cewek, jadi berbahaya kalau kamu di luar. Apartemen ini juga bukan milik kakak pribadi. Ada 4 cowok sangar yang sebentar lagi akan datang. Jadi cuma rumah tempat yang aman buat kamu. Lagian kan ada si Mbok sama Mamang yang jagain kamu. Kamu ngertiin dong keadaan kakak."

"Semua orang maunya dingertiin, tapi nggak ada yang mau ngertiin Nanaz. Nanaz benci kakak, Nanaz benci ayah." Teriak gadis belia yang terlanjur kesal dengan hidupnya, terlanjur marah dengan takdirnya, takdir sebagai bagian dari keluarga yang berantakan.

"NANAAAZZZ!!!" Panggil Alvian yang tidak ditanggapi sama sekali. Dia langsung mengambil smartphonenya dan menghubungi orang yang sangat tidak ingin ia hubungi.

"Adek baru aja pergi dari apartemen Vian, dan dia bilang, dia benci ayah."

Tut.

***

Wijaya Mahendra memejamkan matanya. Merasa gagal sebagai seorang ayah. Dia tak bisa mendukung putra sulungnya yang lebih memilih musik daripada kuliah akademisnya, putri bungsunya pun tak terkendali lagi. Sudah beberapa kali dia dipanggil ke sekolah karena ternyata putrinya sering bolos, tidak mengerjakan tugas dan masih banyak lagi.

Wijaya mengecek anaknya lewat GPS dan langsung menyuruh orang untuk mengikuti anak gadisnya yang mungkin sudah membencinya itu. Pria berkaca mata itu mengambil frame yang terdapat di atas nakas kamarnya. Dilihatnya seorang gadis kecil berhijab yang terlihat begitu manis dan ceria. Wijaya merindukan putri kecilnya yang manja. Seandainya ia tak sibuk bolak-balik Singapore beberapa tahun belakangan ini, mungkin putrinya tidak akan seperti ini.

***

Nanaz sudah berada di salah satu klub malam. Dia ke sana karena ajakan senior di sekolahnya. Gadis itu menegak bir yang disodorkan padanya. Kepalanya pusing dan matanya mulai buram setelah gelas yang ke dua.

"Slowly aja babe, malam masih panjang kok." Ucap Raymond, Senior yang berani mengajak Nanaz ke klub malam, yang mengatakan tahu cara jitu agar bisa happy tanpa perlu peduli dengan segala masalah yang ada.

Raymond menikmati pemandangan di hadapannya. Nanaz tampak menggiurkan dengan wajahnya yang masih belia. Beda dengan Raymond yang sudah berusia 20 tahun meski dia masih duduk di bangku SMA. Raymond memang langganan tinggal kelas karena kenakalannya, tapi sebagai anak pengusaha kaya, Raymond tak ambil pusing sama sekali. Baginya yang penting adalah menikmati hidup yang singkat ini.

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang