Chapter 28

629 40 2
                                    

"Oh begitu. Ya sudah. Jaga kesehatan, jangan lupa makan. Hmm. Assalamu'alaikum."

Nanaz memperhatikan Ibu Reza yang masih terlihat anggun di usianya. Dia sedang menelepon anak sulungnya, Nazzar Alawiyah, yang masih belum datang juga.

"Kenapa Ma? Abang nggak bisa datang?" Tanya Reza yang kini tengah berada di kediaman Nanaz. Selain ayah, kakak dan ipar Nanaz, di sana juga ada Abi dan Ummi, orang tua kedua Nanaz.

"Iya. Biasalah abangmu itu. Selalu saja sok sibuk." Ucap sang mama yang memakai gamis putih kaftan berpayet perak. Dia sedikit kecewa, tapi mengingat putranya yang memang seorang workaholik, Nyonya Alawiyah hanya bisa menelan kekecewaannya.

"Baiklah, karena tidak ada lagi yang ditunggu kita mulai saja acara pertunangannya." Ujar Tuan Alawiyah yang telah mengetahui jika sulungnya tak bisa datang. Dia memang menyuruh istrinya untuk menelepon anaknya yang menjadi bos travel tour & haji mereka.

Ya. Hari ini adalah hari pertunangan Nanaz dan Reza. Tidak banyak hal yang dilakukan, hanya sekedar makan bersama keluarga inti. Dan setelah dibicarakan, pernikahan disepakati akan diselenggarakan bulan depan. Reza juga berencana mengajak Nanaz bulan madu di Mekkah, sekalian umrah katanya. Semuanya indah dan membahagiakan kedua belah pihak keluarga, tapi tetap saja, Nanaz dan lembaran lama yang tak ingin ia tutup menghalangi kebahagiaannya.

*

"Jangan merasa bersalah. Hidup, mati, jodoh itu Allah yang atur. Jangan sampai mubram Allah menghalangimu dari kebahagiaan. Hafidz pun tak rela jika dia tahu kau seperti tak mengikhlaskannya."

"Nanaz merasa mengkhianati hati Nanaz, Bi. Nanaz merasa mengkhianati cinta kami." Isak Nanaz yang langsung diraup Ummi yang duduk di sebelahnya. Reza dan keluarganya baru saja pulang, sedang keluarga Bandung masih di rumah Nanaz. Mereka tahu, mereka harus menasehati Nanaz yang masih saja menutup hati sejak kepergian suaminya, tujuh tahun yang lalu.

"Sirik kecil itu, Alya. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun. Segala sesuatunya adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kita semua akan kembali. Tujuh tahun sudah terlalu lama bagimu menutup diri. Abi tidak redho jika putri Abi menghalangi kebahagiaan dirinya sendiri."

Tangisan Nanaz tambah menganak sungai. Ummi makin memeluk erat mantunya itu, sedang ayah Nanaz dan Abi hanya saling menatap penuh arti.

***

Tiga minggu kemudian.

"Aku nggak mau tahu. Jangan keterlaluan lah, bang. Masa adeknya nikah, abang masih mentingin bisnis."

"......"

"Terserah. Pokoknya awas kalo abang sampai nggak dateng."

Nanaz yang baru kembali dari toilet melihat wajah murung tunangannya itu. Raut yang selalu terlihat jika itu berhubungan dengan sang kakak yang sampai detik ini belum pernah Nanaz temui. Nanaz hanya pernah melihat fotonya saat berkunjung ke rumah Reza. Memenuhi panggilan makan malam calon mertuanya.

"Bang Nazzar?" Tebak Nanaz.

Reza mengangguk lalu menegak minuman dinginnya. Siapa yang tidak kesal jika kakak satu-satunya yang kita miliki lebih memilih bisnis ketimbang menghadiri pernikahan adiknya sendiri.

"Kenapa lagi Bang Nazzar?" Tanya Nanaz mencoba memberi perhatian pada tunangannya itu, setidaknya dia harus belajar kan?

"Coba bayangin. Abang barusan telpon dan bilang kalau dia nggak bisa datang ke pernikahan kita? Kalau acara sepele wajarlah, aku maklum, tapi ini kan pernikahan adiknya, masa dia nggak datang."

Nanaz tersenyum. Jarang sekali dia melihat Reza menggerutu. Ya. Memang, Entah sudah berapa kali Nanaz gagal bertemu dengan iparnya itu. Sepertinya dia sangat sibuk sebagai bos Travel dan Haji.

"Mungkin dia memang sibuk. Maklumi saja. Toh kalau nggak sibuk dia pasti datang."

Reza memicingkan mata, tak puas dengan nasihat calon istrinya.

"Sayang, kamu tahu nggak, udah berapa kali aku gagal temuin kamu sama abang. Udah nggak keitung kayaknya. Ini pernikahan kita tinggal seminggu lagi, paling nggak dia dateng dong di pernikahan kita. Mama papa kan juga nggak enak sama keluarga kamu, takutnya mereka pikir, Abang nggak respect sama keluarga kamu."

"Enggaklah, Za. Santai saja. Makin deket ke pernikahan, kamu makin kelihatan stress kayaknya, aku aja yang perempuan biasa aja."

Reza menghela nafas. Sepertinya Nanaz benar. Dia terlalu stress menghadapi pernikahan mereka. Kemarin saja dia marah-marah pada bridal yang salah memilihkan warna hena yang akan dikenakan Nanaz di hari pernikahan. Hena yang harusnya mereka sediakan hitam malah berwarna coklat. Sangat tak pantas dengan gaun pengantin Nanaz yang berwarna putih gradasi payet hitam. Padahal itu hanya hal sepele yang langsung bisa diatasi, tapi Reza terlalu membesar-besarkannya sampai harus marah-marah pada bridal yang mengurus hal sepele itu.

"Mungkin kamu benar sayang. Rasanya aku masih tak percaya kalau seminggu lagi kita akan menikah. Nanti aku bicarain lagi sama abangku deh. Aku nggak mau tahu, pokoknya dia harus datang. Titik."

"Baik, Dokter Reza. Semaumu lah." Ledek Nanaz yang berharap dapat membalikkan mood calon suaminya.

Kalau dipikir-pikir memang aneh. Kata Reza, kakaknya itu adalah pria yang friendly dan sangat mengutamakan keluarga, tapi entah kenapa setiap kali janjian untuk bertemu dengan Nanaz mesti selalu gagal. Nanaz jadi mengingat donatur Darus Salam yang sama misteriusnya seperti Abang Nazzar ini. Nanaz mencoba mengingat kembali wajah Abang Nazzar yang ia lihat di foto, tapi sialnya, malah wajah dia yang tiada yang terbesit di pikirannya.

'Astagfirullah. Ya Rabb, bantulah hamba melupakan dia yang telah tenang di sisimu.'

"Ya? Apa?" Tanya Nanaz terkejut dengan panggilan Reza.

"Ish. Nyonya Alawiyah. Suami lagi ngomong malah melamun." Ledeknya dengan senyuman khas seorang Reza.

"Baru calon, jangan ngaku-ngaku deh."

"Hehehe. Iya iya, nyonya. Makasih ya, buat semua kesempatan yang kamu kasih buat aku. Aku janji nggak akan kecewain kamu. I love you, Alya Syahnaz."

Nanaz hanya menanggapinya dengan senyuman dan Reza mengerti akan hal itu. Memang kapan dia tak mengerti seorang Alya Syahnaz?

*

Setelah makan siang dengan dokter Reza, Nanaz berangkat ke konferensi dokter di salah satu hotel ternama di ibukota. Dia menjadi satu-satunya delegasi rumah sakit tempat ia bekerja tetap selama 2 tahun belakangan ini.

Bugh.

"Innalillah. Maaf, maaf, saya tidak sengaja." Ucap Nanaz sembari memunguti jurnal yang dibawanya, yang terjatuh karena tubrukan 2 hawa itu.

"Nanaz?"

Dan mata Nanaz membelalak melihat wajah dari masa lalunya itu, wajah yang dulu sempat membuatnya berat dalam pilihan, wajah yang secara tidak langsung pernah ia sakiti, wajah jelita yang kini terlihat begitu matang dengan sinar yang kentara. Wajah ini pastilah ahli sembahyang, tentu saja, dari dulu dia selalu menjadi yang terbaik. Qoirun Nissa Al-Fath Danudirja. Kawan masa lalunya.

"Nissa?"

Nissa tersenyum menawan. Nanaz refleks memeluk tubuh ramping Nissa dan Nissa pun menyambutnya dengan pelukan sahabat yang sama hangatnya. Tapi kemudian, kalimat Nissa berikutnya membekukan otak Nanaz seketika.

"Pantas saja aku tadi melihat Ustadz Hafidz, ternyata istrinya yang cengeng ini ada di sini. Kaifa haluk, ukhti?"

















































































Bingung? Mau apa kau? 😒😒😒

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang