Chapter 5

792 62 0
                                    

"Ssshh... semua akan baik-baik saja sayang. Anggaplah seperti dulu, kamu sedang liburan di sini dan kita akan melakukan banyak kegiatan yang positif. Bagaimana?" Bujuk Hasna yang kini sedang menemani Nanaz di kamarnya. Dia diungsikan ke kamar wanita ayu itu setelah puas menghancurkan kamar adiknya, Hafidz.

"Kenapa Ayah dan Bunda nggak seperti Ummi sama Abi? Nanaz inget waktu Nanaz ke sini tiap liburan. Ummi dan Abi sayang ke kak Hasna, sayang juga ke Nanaz." Hasna membelai sayang rambut Nanaz yang menjadikan kaki malfungsinya sebagai bantalan, membiarkan gadis itu menguraikan tangisnya yang tak kunjung henti.

"Ada saatnya kamu akan mengerti dengan segala hal yang tidak kamu tahu, dek. Tapi yang jelas, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Bahkan Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya di padang gurun tandus meski dia sangat berat melakukannya. Belum lagi, ketika Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya. Semua itu pun berat. Tapi Nabi Ibrahim yakin, Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hambaNya. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu tapi sesuatu itu tidak baik bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tapi sebenarnya sesuatu itu baik bagimu, Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus-'ahaa. Allah tidak memberikan cobaan kepada seseorang, melainkan sesuai kesanggupannya."

Nanaz pernah mendengar Ummi_Ibunda Hasna, mengatakan hal yang sama. Tapi entah kenapa, itu tidak jua membuatnya merasa lebih baik. Dia hanya ingin menangis dan menangis. Menyesali apa yang terjadi pada hidupnya yang malang. Hidupnya yang kesepian.

***

Sementara itu di kamar bungsu, si Pemilik kamar yang dihancurkan Nanaz sedang sibuk membersihkan kamarnya ditemani sang Nyai, neneknya yang baru berusia 60 tahun.

"Afwan, Fidz. Kamar kamu jadi porak- poranda seperti ini. Afwan juga Nyai tidak bisa membiarkan orang lain membersihkan kamarmu karena akan tambah jadi bahan gunjingan nanti. Teriakan Nanaz bahkan sudah heboh dibicarakan para santri yang ingin tahu.

'Jadi panggilannya Nanaz.' Batin Hafidz yang sudah bisa menamai gemuruh di dalam hatinya. "Tidak apa, Nyai. Apa dia terluka? Hafidz lihat ada noda darah di lantai, Nyai."

"Iya. Tangannya terkena pecahan beling. Tapi sudah diobati. Sok atuh, bergegas. Nanti keburu ashar."

'Nanaz. Namanya Nanaz.'

*

"Bagaimana? Apa dia tidur?" Tanya Nyai saat melihat Hasna masuk ke kamar adiknya dan langsung membantu sebisanya. Hafidz yang melihat kakaknya juga ingin tahu.

"Na'am Nyai. Kasihan dia. Nangis sampai matanya bengkak. Hasna nggak tega melihatnya, Nyai." Jawab Hasna dengan wajah yang sendu.

Nyai menghela nafas. Siapa juga yang tega melihat kemalangan gadis belia itu? Gadis yang sebenarnya hanya haus dengan kasih sayang orang tuanya, gadis yang hanya ingin diperhatikan selayaknya anak sebayanya.

"Ya sudah, biarkan saja. Nyai mau menyuruh santri piket untuk menyiapkan kajian ashar dulu karena nanti ada habib undangan yang akan mengisi acara itu. Kalian selesaikan secepatnya."

"Baik, Nyai." Jawab Hasna seorang, sedang Hafidz sibuk dengan pikirannya sendiri.

Selepas Nyai pergi, Hafidz memberanikan diri bertanya. Hafidz bisa uring-uringan jika terus memikirkan gadis yang bukan mahramnya itu.

"Apa..dia masih family kita, teh? Hafidz liat, Nyai sama teteh kayaknya deket sama dia." Tanya Hafidz yang akhirnya berhasil menyuarakan rasa ingin tahunya.

Hasna yang sedang menata buku di atas nakas berhenti dan tersenyum sesaat. Di memaklumi pertanyaan adiknya itu.

"Laa Hafidz. Dia adalah anak sohibul Abi dan Ummi, cuma dia sudah teteh anggap adik teteh sendiri. Waktu kamu mondok, Nanaz lah pengisi kesepian Abi dan Ummi. Masya Allah, anak yang cantik dan manis, tahfidz 4 juz di usianya yang 10 tahun. Anaknya pun sangat aktif dan ceria. Dia selalu dititipkan di sini kalau liburan panjang sekolah."

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang