Chapter 16

719 54 0
                                    

"Yaudah, Nanaz jalan dulu ya, Mi, Teteh." Ucap Nanaz sembari mencium tangan umminya dan juga kakak ipar resminya. Hasna tersenyum indah, sedang Ummi mengusap kepala Nanaz sayang. Tentu sayang, bagaimana tidak sayang, semakin ke sini, Nanaz semakin pandai dalam syari'at, bahkan tahfidznya yang 4 juz dengan kilat mulai hafal kembali. Itulah hebatnya Allah, begitu Allah tanamkan Al-qur'an pada seseorang, maka jika Allah menghendaki, niscaya dia tidak akan lupa.

"Jangan lupa bilang sama Nyai harus datang pas nisyfu sa'ban soalnya ada Kyai Besar Ma'ruf nanti insyaAllah datang." Pesan Ummi mengingatkan.

"Baik, Ummi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumus salam warahmatullah." Jawab Ummi dan Hasna serempak.

*

"Assalamu'alaikum, yaa Bidadari."

"Astagfirullah! Ustadz?"

Hafidz senang sekali melihat keterkejutan sang istri. Niatnya berdekat-dekatan dengan sang istri yang selalu menghindar dan kabur-kaburan itu akhirnya terlaksana juga.

"Mang Ujang mana? Kok ustadz yang anter? Aku bilang Ummi dulu ya." Jawab Nanaz panik dan langsung berusaha keluar. Bisa? Tidaklah, karena Hafidz selalu lebih gesit dari istrinya. Ditangkapnya tangan istrinya yang berbalut gamis merah muda yang masyaAllah membuatnya terlihat menawan, apalagi ditambah hijab syar'inya yang berwarna merah muda lebih terang. Jangan lupakan gradasi putih di gamisnya. Inilah bidadari Hafidz yang ia rindukan, yang mati-matian ia perjuangkan.

"Jawab salam itu hukumnya fardhu kifayah, habibah."

"Wa'alaikumus salam warahmatullaah." Cicit Nanaz lalu bersandar di jok. Melupakan niatnya untuk keluar. Hafidz sudah di kursi kemudi, pakaiannya juga rapi, tangan Nanaz sudah digenggam. Fix. Hafidzlah yang akan mengantarkan Nanaz ke Lebak Sawah, tempat majelis Nuruddin berada. Tempat Nyai menjadi sesepuh di sana, bersama paman dan bibi Hafidz dari adik Abi Mustafa.

"Ke-kenapa ustadz yang anter? Bukannya ustadz ada urusan di kota weekend ini? Tanya Nanaz penasaran. Jelas saja penasaran. Dia selalu memastikan jadwal suaminya lewat Ummi dan Hasna, tidak mungkin dia salah.

"Karena aku mau quality time sama istriku yang hobinya menghindari suaminya ini." Jawabnya sambil menstarter mobil dinas ponpes, hibahan dari seorang donatur.

"Me-menghindar? Siapa? Aku?"

Hafidz terkekeh. Nanaz berubah jadi pemalu setelah menikah, membuat Hafidz makin tidak karuan.

"Memangnya istriku ada berapa? Dan siapa lagi kalau bukan si rese ini?" Sindirnya sambil menjawil hidung pesek istrinya yang tak sedikitpun mengurangi kecantikannya.

"Nanaz tidak menghindar. Biasa saja."

Nanaz mendengar suaminya membaca do'a naik kendaraan, ayat kursi dan bismillah di akhir do'anya. Mobilpun perlahan melaju.

"Aku lihat kamu selalu melihat papan piket guru, terus aku juga tahu kamu selalu nyari tahu kegiatan aku dari ummi dan teh hasna, karena kamu tahu, aku selalu bilang ke mereka kalau aku ada acara atau kegiatan di luar pondok. Masih nggak mau ngaku?"

Hati Nanaz mencelos. Bukannya menghindar, hanya saja dia merasa gugup dengan perasaan yang baru ia rasakan ini. Perasaan dag dig dug ketika berhadapan dengan sang suami.

"Afwan, ustadz." Cicit Nanaz merasa bersalah.

Hafidz tersenyum dan menyentuh pipi istrinya yang sehalus kulit bayi.

"It's okay. Aku ngerti kok. Aku tahu kamu masih belum bisa nyaman sama aku. Tapi please jangan menghindariku ya. Rindu itu berat sayang. Asytaaqu ilaiik."

Rona merah jambu langsung berpendar di wajah Nanaz. Kenapa suaminya ini selalu bermulut manis? Membuat Nanaz semakin salah tingkah.

Sepanjang perjalanan, Hafidz terus saja memancing pembicaraan, membalas rindu yang terpendam. Meski Nanaz lebih sering menjawab sesingkat-singkatnya dan tak sekalipun berani menatap Pangeran Tampan Darus Salamnya. Catat! Pangerannya. Bukan milik yang lainnya.

*

"Kok, mampir. Ustadz lapar? Memangnya belum makan?"

"Tidak lapar dan sudah makan."

Nanaz mengerutkan dahi tak mengerti. "Lalu buat apa mampir ke rumah makan?" Tanya Nanaz cepat.

"Mau cari alasan makan berdua sama istriku." Jawab Hafidz asal lalu keluar dan segera membukakan pintu untuk bidadarinya.

Dan di sinilah mereka. Di warung makan sederhana pinggir jalan, dengan udara sejuk kota Bandung dan menanti seporsi sate ayam lontong yang menggugah selera.

"Kamu yakin nggak mau pesan satu porsi lagi?"

Nanaz menggeleng.

"Nanti kurang loh. Kan kamu makannya banyak."

O o.. Hafidz melihat raut wajah istrinya langsung berubah kecut. Dahinya mengerut dan bibir manisnya mencebik.

"Maksud ustadz apa? Aku rakus, gitu?"

"Bukan sayang, maksud aku kalau memang kurang kan mamangnya bisa sekalian bakar, jadi gak kerja dua kali." Jawab Hafidz berharap Nanaz menerima kata-katanya.

"Jangan khawatir. Nanaz nggak akan sentuh makanan Ustadz. Nanaz juga nggak laper kok."

"Astagfirullah. Jangan ngambek dong, bidadari pangeran tampan Darus Salam. Kalaupun kamu makan banyak, memangnya kenapa? Aku nggak ada masalah kok. Malah bagus, nanti jadi lebih berisi. Lebih enak dipeluk. Anget lagi."

"Jadi maksud ustadz aku nggak enak dipeluk, gitu? Ya udah nggak usah peluk. Bukan Nanaz kok yang suka cari-cari kesempatan di rumah Abi."

Innalillaah. Perempuan benar-benar makhluk yang menguras kesabaran. Hafidz jelas-jelas mengatakan hal yang biasa tapi Nanaz menganggap seolah-olah Hafidz sengaja menyinggungnya.

"Duh, gemesin deh kalau ngambek. Untung sayang."

Tak lama, pesanan mereka 1 porsi sate ayam lontong dan 2 gelas jeruk hangatpun datang.

"Silahkan!" Ujar si Pelayan.

"Nuhun, mang."

Hafidz memberi kecap tambahan di atas sambel kacang dan memeras limo yang sudah dibelah dua. Pria itu lantas menggumamkan do'a dan mulai menikmati sate pesanannya.

"MasyaAllah, nikmat banget satenya. Coba istriku mau makan bersama pangeran tampan ini, pasti akan lebih nikmat. Hmmm, lezaaat."

Nanaz masih mengerucut sambil melipat tangannya di dada, jarinya mulai mengusap bulir bening yang kurang ajar keluar tanpa permisi. Hafidz menyadari itu. Dia jadi merasa bersalah.

"Lau jama'tu ayaama umri min farohim, habibah, maa tusaawwii lahdzota min wakti ma'aki___Kalaulah aku kumpulkan saat-saat bahagia di dalam hidupku, sayangku, tidak akan bisa dibandingkan dengan waktu yang kuhabiskan bersamamu."

Nanaz malah semakin menangis. Membuat Hafidz harus menariknya ke pelukan dan mengusap air mata bidadarinya itu. Hafidz bahkan tidak peduli kalau penjual sate dan istrinya sudah mesem-mesem melihat mereka berdua.

"Cup cup sayang. Makan satenya dulu ya, nanti lanjutin ngambeknya di kamar aja. Biar sekalian sunah rasul. Mumpung malam jum'at."

Nanaz langsung menghadiahi pukulan di dada Hafidz yang masih sempat-sempatnya bercanda. Tapi setelah itu senyum terukir lagi di wajah Nanaz dan ketika Nanaz tanpa sadar memakan lebih banyak sate dan lontongnya, Hafidz tersenyum bahagia. Istrinya memang doyan makan, tapi DOYAN MAKAN adalah kata terlarang dalam percakapan mereka. Hafidz harus mengingatnya baik-baik.

Dan kala sepasang suami istri itu sedang menikmati indahnya hari itu dengan makan sapincuk berdua, dari dalam mobil yang terhenti di pinggir jalan, tersiratkan kesedihan. Kesedihan seorang gadis patah hati yang mungkin akhirnya tahu, siapa perempuan yang memupuskan harapannya sejak kecil untuk menjadi istri seorang Hafidz.

'Kamu tidak k pantas bersama ustadz Hafizd, Naz. Kamu tidak pantas.'

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang