Chapter 20

701 48 1
                                    

"Wa'alaikumus salam Ustadz. Mari mari, silahkan!" Jawab pria bertubuh tambun yang berusaha tetap Hafidz hormati. Walau bagaimanapun, pria di hadapannya ini adalah rekanan ponpes yang turut menghidupi ponpes selama 7 tahun belakangan ini.

"Mau minum apa, ustadz?" Tawar si Empunya kantor besar yang Hafidz sengaja kunjungi. Ia bahkan berangkat lepas subuh agar bisa kembali sebelum ashar.

"Terima kasih, Pak. Tapi mohon maaf, saya sedang berpuasa." Jawab Hafidz dengan senyum secukupnya.

"Ah, maaf. Baiklah, jadi kapan kita akan laksanakan pernikahan kalian? Saya tahu putri saya masih sangat muda untuk menikah, tapi katanya istri pertama ustadz juga seusia anak saya. Nissa anak saya satu-satunya, lebih cepat lebih baik. Jadi saya bisa cepat menggendong cucu haha."

Dahi Hafidz mengkerut dan sekarang ia jadi merasa tak enak. Ia bahkan belum mengatakan apapun, tapi pria yang kini sudah membuka kancing jas hitamnya sudah menyimpulkan sendiri.

"Afwan Pak Danu, tapi sepertinya bapak salah paham." Interupsi Hafidz yang membuat Danudirja membeku. Dilihatnya Hafidz lamat-lamat. Apa iya Hafidz mengorbankan pesantren hanya karena satu istri?

"Saya minta maaf jika saya mengecewakan bapak, tapi maaf, saya masih pada keputusan saya semula. Saya tidak bisa menerima putri bapak."

"Ustadz tahu kan konsekuensinya? Apa jadinya ponpes jika saya menarik diri dari donatur?" Raut wajah Danudirja mulai berubah warna, menandakan dia menahan amarahnya.

"Terima kasih karena telah mengkhawatirkan pondok, tapi insya Allah kami akan baik-baik saja." Ucap Hafidz sesabar mungkin.

"Maaf bukan meremehkan ustadz. Kata Nissa, ustadz hanya mengurus pondok saat ini, sekaligus menjadi salah satu guru di Aliyahnya. Pondok juga hanya punya usaha mikro yang saya yakin tidak akan mencukupi operasional pondok. Tidakkah ustadz terlalu gegabah? Toh, apa salahnya jika ustadz menikah lagi? Itukan sunnah rasuh? Moso orang melek agama seperti ustadz enggan menjalankan sunah rasul?"

Hafidz tersenyum. Mendengar perkataaan Suyoto Danudirja yang meremehkan membuatnya semakin mantap pada keputusannya. Setelah ini dia tinggal mengatakan dengan jelas kepada Nissa agar semuanya benar-benar selesai.

"Maka cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami, karena Allah adalah sebaik-baiknya penolong. Poligami memang sunah rasul, tapi bahkan rasul melarang sayidina Ali Bin Abi Thalib menikah lagi ketika putrinya sayidah Fatimah Az-Zahra menolak dipoligami karena takut tersakiti dan tak kuasa menahan cemburu. Saya memang bukan Sayidina Ali tapi saya melarang diri saya sendiri karena saya tidak mau menyakiti perasaan istri saya. Saya harap bapak mengerti."

"Sudah sudah. Tak usahlah menceramahi saya. Saya sudah mendengar keputuan Ustadz, dan saya harap Ustadz tidak akan menyesal." Potong Danudirja yang sudah terlampau marah. Apa sih hebatnya Hafidz Ali Saujana hingga putrinya tak bisa melepaskan pria beristri itu?

"Amiiin insyaAllah."

Lepas itu Hafidz pamit setelah salamnya dijawab meski dengan keengganan. Tak ada keraguan sama sekali di hati pria yang dua bulan lagi genap berusia 26 tahun itu. Usia yang cukup untuk membina mahligai pernikahan yang utuh, dan semoga saja Nanaz siap lebih cepat agar mereka bisa meneguk madu bersama.

***

"Apa kamu sudah melakukan yang harus kamu lakukan Naz?" Tanya Nissa ketika mereka baru selesai dari praktik sains di laboratorium. Ustadz dan tilmidz yang lain telah kembali ke kelas dan pasti langsung ke masjid atau ke pondok mengingat sekarang sudah jam pulang dan hampir ashar. Hanya tersisa Nanaz dan Nissa yang mendapat giliran piket hingga harus merapikan sisa-sisa alat praktik sains mereka.

Nanaz menatap Nissa yang tersenyum bagai bidadari, alangkah indahnya jika senyum itu juga serupa dengan apa yang ditampakkan hatinya.

"Aku tidak bisa melakukannya Niss. Maaf, aku tak mau dimadu."

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang