Chapter 26

727 51 2
                                    

Universitas Islam Bandung menjadi pilihan Hafidz untuk Nanaz, istrinya yang sudah melewati semua ujiannya. Kini tinggal menunggu hasil ujian dan hafkatul ikhtitam_perpisahan santri saja.

Sebenarnya, jarak UNISBA dengan pondok lumayan jauh, kurang lebih satu jam dengan kendaraan, tapi itu lebih baik dari pada Nanaz harus mengekost. Sebenarnya bukan masalah besar, tapi setelah malam pertama mereka dua bulan yang lalu, Hafidz selalu kangen pada istrinya itu. Kangen ketemu, kangen meluk, kangen.... kalian tahulah.

"Udah dong dek, cepat atau lambat kan teteh emang harus pergi dari sini. Kamu nggak mau kan teteh jadi perawan tua kan? Usia teteh udah mau tiga puluh loh." Bujuk Hasna pada Nanaz yang sedang merengut. Pasalnya, kepergian Hasna ke Blitar bersama Abi dan Ummi yang lalu, ternyata sekaligus untuk menjodohkan Hasna dengan pilihan Abi. Salah satu putra Kyai Junaed yang belum lama kehilangan istrinya setelah melahirkan anaknya.

"Nanaz pasti akan kangen teteh. Kangen belajar sama teteh. Kangen...ish Aa. Orang lagi sedih juga." Protes Nanaz yang sedari tadi suaminya terus saja menggelitik pinggangnya diam-diam. Matanya melihat ke TV tapi tangannya merajalela. Aih!

*

Hasna tersenyum. Kelakuan Hafidz yang kerap kali menggoda sang istri memang sudah diketahui seisi pondok Darus Salam. Kadang dia menggoda hingga membuat Nanaz merona, tapi tak jarang, Nanaz dibuat meradang karena keisengannya.

"Setelah haflah kan kamu boleh pegang HP, jadi nanti kamu video call kakak saja kalau kangen."

Nanaz masih sibuk menurunkan tangan Hafidz yang masih bergerilya sana-sini. Hanya sentuhan-sentuhan lembut, tapi lama kelamaan membuat Nanaz gelisah juga.

"Ya tapi kan beda... ya astagfirullah, Aa... cicing atuh."

Hasna tersenyum lagi, adiknya selalu saja menginginkan istrinya. "Sudah sana ajak ke kamar. Kasihan dari tadi kamu sibuk sama kakak, jadi caper pangeran tampanmu ini."

Nanaz berdecak dan melotot ke arah suaminya yang sudah memasang wajah berseri-seri. Membuat Nanaz memutar bola matanya. Suaminya sangat tidak tahu malu sekali di hadapan kakaknya.

Nanaz menggenggam tangan besar suaminya dan memasang senyum yang dibuat-buat.

"Sok pangeran, kita main di kamar saja."

Hafidz tertawa melihat guyonan istrinya. Biarlah ia dicap tak tahu malu yang penting nafkah batinnya terpenuhi.

*

"Apa tidak ada orang lain?"

"......"

"Begitu."

"......."

"Baiklah. Ana pikirkan dulu ya. Walau bagaimanapun, Ana tak sebebas dulu. Banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan ana."

"......."

"Hmmm. Ilal liqo."

"......"

"Wa'alaikumus salam."

Hafidz menghela nafas. Berat rasanya jika dia harus meninggalkan istri dan tanggung jawabnya saat ini, tapi membela islam juga merupakan kewajibannya.

"Apa ada yang mengganggu pikiran Aa?" Tanya Nanaz yang terbangun di sisi Hafidz. Dilihatnya sang suami tengah asik menonton sesuatu di handphonenya. Hafidz mengecup lembut kening istrinya lalu membawa sang istri ke dalam pelukannya. Membiarkan nafkah batinnya ikut menonton apa yang ia tonton.

Dan hati Nanaz tak kuasa melihatnya. Dia meremas tangan sang suami dan air matanya sudah menganak sungai. Itukah negeri para nabi di mana hampir seluruh penduduknya adalah para penghafal Qur'an?

"Innalillaah. Kenapa mereka begitu kejam? Apa mereka tidak punya hati? Mereka kan masih anak-anak." Isak Nanaz masih tak percaya.

"Mereka punya hati, tapi hati mereka telah mengeras. Mata merekapun tertutup dan telinga mereka tidak dapat mendengar. Mereka lupa bahwasannya, hanya Allah lah hakim yang sebenar-benarnya."

Nanaz mengangkat tubuhnya dan memandangi sang suami yang matanya sudah berkilat marah. Sekarang dia tahu apa yang digundahkan suaminya itu.

"Kalau Aa memang dibutuhkan di sana, pergilah A. InsyaAllah Nanaz ikhlas."

Hafidz menatap manik sendu istrinya. Dia melihat kesungguhan di mata yang selalu bercelak indah itu. Entah kenapa rasanya berat sekali meninggalkan sang permaisuri saat ini. Seakan-akan Hafidz tak yakin bahwa ia bisa kembali dengan selamat kali ini.

Hafidz membawa sang permaisuri ke dalam pelukannya. Mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepala sang istri pujaan hati.

Indama tuhibbu tartabitu masyairina bil khouf, nakhoful faqda, nakhoful firoq, wa nakhofu an nashib aktsar.

Ketika kita mencinta, perasaan kita akan merasakan ketakutan, takut kehilangan, takut perpisahan, dan takut berbagi.

Ya Allah!

Hamba munajatkan cinta hamba hanya karena-Mu ya Rabb.

Maka peliharalah ia dalam lindungan-Mu dan peliharalah jodoh kami hingga ke Jannah-Mu.

.

.

.

.

Surga di Taman Hati

Hafidz Ali Saujana.

*

Dan dua hari kemudian Hafidz pun pergi ke negeri para nabi yang sedang diluluh lantahkan para zionis, meninggalkan Nanaz yang berusaha tegar tanpa air mata.

Tapi..

Semua berubah tat kala di suatu hari yang terik, dua minggu setelah keberangkatan sang suami, sebuah tayangan di TV membuat siapapun meremas dada karena pilu, dan pilu itu menjadi hujaman belati yang menyarang di jantung Nanaz tat kala dia melihat nama HAFIDZ ALI SAUJANA termasuk salah satu WNI yang menjadi korban perang kemanusiaan itu.

Runtuhlah pilar besar yang menjadikan Nanaz kuat hingga saat ini.

Yang selalu ada ketika seorang Nanaz terjatuh.

Seseorang..

Yang dengan senyum surganya mampu memunculkan rona delima di wajah belia sang hawa.

Seseorang yang sempat lupa akan Tuhannya.

Seseorang yang sempat lupa akan jati diri keimanannya.

Nanaz yang kala itu tengah berada di UNISBA untuk mengambil formulir pendaftaran, mencuri perhatian dengan tangisannya.

Padahal baru kemarin ia bersenda gurau dengan suaminya lewat video call.

Padahal baru kemarin ia mengecup jauh rindu yang menggebu di antaranya.

Tapi....

Bahkan hanya untuk memuaskan diri dengan alat pun kini ia tak bisa.

Nanaz menangis dan terus menangis, hingga kegelapan mengambil kesadarannya.

Innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun. Sesungguhnya segala sesuatunya adalah milik Allah, dan hanya kepadan-Nya lah kita semua akan kembali.

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang