Reza mengantarkan Nanaz yang terdiam sepanjang perjalanan sampai ke muka pintu rumahnya. Dilihatnya sang tunangan masih terlihat begitu kalut. Entah apa gerangan yang terjadi karena Nanaz sama sekali tidak ingin berbagi beban pikirannya. Tapi apapun itu, semoga itu tidak menggoyahkan rencana pernikahan mereka.
"Kamu boleh cerita apapun padaku, dan aku siap mendengarkan apapun yang menjadi bebanmu. Hmm?"
Nanaz tersenyum-paksa dan sungguh, itu menyayat hati Reza. Bagaimana bisa Nanaz belajar menerima Reza dalam hidupnya, kalau membuka pintu hatinya saja ia enggan?
"Masuk dan istirahatlah. Besok aku akan menjemputmu."
Nanaz tak menjawab sepatah katapun, hanya masuk dan meninggalkan Reza yang kecewa pada dirinya sendiri. Nanaz jelas-jelas butuh teman, tapi dia lebih memilih tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Cemburu Reza rasanya pada dia yang telah tiada, karena jika sadar kalau itu Reza, Nanaz tidak mungkin memeluknya bahkan sampai seerat itu, Nanaz yang Reza kenal adalah wanita yang selalu menjaga batas mahramnya dengan lawan jenis. Bahkan selama tiga tahun mengenal Nanaz, tak sekalipun Reza berani menyentuh Nanaz karena prinsip Nanaz yang selalu anti pati dengan sentuhan lelaki.
Rasa penasaran menguliti pikiran Reza. Sehebat itukah Hafidz Ali Saujana hingga bisa bertahta begitu lama dalam hati Nanaz, bahkan setelah kepergiannya?
***
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumus salam." Jawab Nanaz yang sedang menyisiri rambutnya setelah membersihkan diri.
Reza pasti mengadu pada Hasna, kalau tidak, tidak mungkin Hasna menghampirinya di jam tidur anak-anaknya.
*
Hasna berjalan ke arah Nanaz dan mengambil sisir adik iparnya itu. Jangan kaget. Hasna memang sudah bisa berjalan kembali sejak lima tahun yang lalu. Perjuangan yang melelahkan namun terbayarkan.
"Ada apa dek? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Hasna lembut. Nanaz memang lebih dari sekedar ipar bagi Hasna. Nanaz sudah seperti adik kandungnya sendiri.
"Teh, Aa udah nggak ada kan? Dia benar-benar sudah nggak ada kan? Hmm? Apa mungkin ada kemungkinan dia masih hidup?"
"Nanaz, jangan seperti ini. Kamu melihat sendiri jasad itu sudah pastilah Hafidz. Walau jasadnya tak bisa dikenali karena luka bakar, tapi dia mengenakan rompi anti peluru yang kau jahitkan kata-kata. Semua identitas pun melekat padanya."
Ya. Itu benar. Sayangnya mereka tak bisa membawa pulang jenazah Hafidz. Sama halnya seperti jama'ah haji yang langsung di makamkan di sana, keluarga Salam pun harus menerima kenyataan, Hafidz dimakamkan sebagai korban perang di negeri para nabi itu.
"Tapi bagaimana jika ada yang melihatnya sekarang? Bagaimana kalau ternyata selama ini kita salah? Bagaiamana kalau ternyata suamiku masih hidup?"
"Lalu kemana dia selama tujuh tahun ini? Di mana dia ketika kau terus mengharapkan dia yang tak mungkin kembali?"
Nanaz terdiam. Ya. Itu benar. Hafidz yang ia kenal tidak mungkin sekejam itu padanya. Pria itu tidak sedetikpun tidak membahagiakannya. Tapi dia jelas-jelas mendengar kalau Nissa melihatnya. Nissa tidak mungkin keliru kan? Lagi-lagi Nanaz terdiam. Itu mungkin saja. Nissa mungkin saja keliru.
"Teteh ngerti kalau kamu mungkin sedih dan kangen sama Hafidz. Karena kehilangan orang yang kita cintai memang tidaklah mudah. Tapi teteh mohon, kebahagiaan ada di depan matamu dek, belajarlah melupakan masa lalu."
Dan air mata Nanaz terjatuh lagi. Sekarang dia hanya perlu menunggu Nissa sebelum ia benar-benar belajar melupakan masa lalunya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA DI TAMAN HATI
RomanceAlya Sahnaz adalah remaja metropolitan kebanyakan. Pergaulan telah menjadikannya urakan dan tidak tahu aturan. Lalu bagaimana jika sang ayah akhirnya memasukkannya ke pesantren yang tidak disukainya? Akankah Nanaz bertahan di pondok yang ketat denga...