Waktu sudah menunjukkan pukul 23.35. Hampir tengah malam ketika Nanaz gelisah dan tak bisa tidur gara-gara Hafidz yang mengesalkan itu.
Harusnya Nanaz bersikap biasa saja, bahkan harusnya Nanaz bersikap antipati pada Pangeran Tampan Darus Salamnya orang-orang. Catat! Orang-orang, bukan Nanaz sama sekali. Karena Nanaz tipikal orang yang jika sudah disakiti atau dikerjai akan terus membekas di memorinya. Easy forgiven, but not forgotten. Itulah quote yang selalu berdengung di telinga seorang Nanaz. Tapi... keberadaan surat yang masih tersimpan di kantong baju gamisnya menggelitik rasa penasarannya.
'Kira-kira, apa yang ditulis si Penipu itu?'
Guling-guling dan terus berguling, Nanaz kesal sendiri karena tak bisa tidur. Diliriknya ke arah gelap di sekitarnya. Semua ukhti sekamarnya telah pulas tertidur. Nanaz mengambil baju yang ia letakkan di keranjang kecil di bawah ranjangnya dan meraba-raba surat yang membuatnya tak bisa tidur itu.
'Yes, dapat.'
Nanaz lalu mengambil senter kecil yang menjadi barang wajib di laci tiap santri, bersama gunting, gunting kuku dan note kecil yang juga harus selalu ada di kotak kayu itu.
Gadis itu menutupi tubuhnya dengan selimut lebarnya dan dengan ragu-ragu, diteranginya lipatan surat yang sudah ia lebarkan.
.
.
.
Ketika lensaku menangkap bidadari yang meski di bawah terik mentari tetap menyejukkan,
Seketika itulah aku jatuh hati.
Ketika manikku menangkap pemberani yang begitu nekad memanjat pembatas dirinya dengan dunia luar yang lebih diinginkannya,
Seketika itulah aku jatuh hati.
Seketika itu jualah aku telah mematri,
Dua kata yang akan selalu melekat dalam dada.
Dua patah kata yang tanpa sadar selalu tersertakan dalam do'a.
Namun apalah daya,
Dua patah kata itu terlanjur menilai buruk akan niat baikku,
Terlanjur su'udzon akan apa yang lebih baik baginya,
Untuknya dan masa depannya.
Tapi aku tidak menyesal.
Tidak sedikitpun.
Aku tahu dia memang tak menginginkan terkurung di sini.
Tak menginginkan menjalankan kehidupan syari'at di tempat teduh ini.
Tapi kalau demi mengurungnya di jalan syari'at ini dia harus membenciku,
Maka biarlah dia membenci.
Jika demi menjauhkannya dari mudharat duniawi di luar sana dia harus antipati padaku,
Maka biarlah begitu.
Karena aku yang egois ini menginginkan jannah untuknya,
Menginginkan dia berbaris di golongan para ashabul yamiinah,
Golongan yang insya Allah masuk ke Jannah.
Tempat orang-orang mukmin dan mu'minah.
Ketika manikku menangkap raut yang kurindukan,
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA DI TAMAN HATI
عاطفيةAlya Sahnaz adalah remaja metropolitan kebanyakan. Pergaulan telah menjadikannya urakan dan tidak tahu aturan. Lalu bagaimana jika sang ayah akhirnya memasukkannya ke pesantren yang tidak disukainya? Akankah Nanaz bertahan di pondok yang ketat denga...