Chapter 36

848 61 6
                                        

Hafidz masih merasakan jetleg karena perjalanan 11 jam yang terasa begitu lama. Perutnya yang  kosong sudah berteriak-teriak minta diisi sesuatu, tapi Hafidz tak menginginkan apapun saat ini selain menemui bidadarinya. 4 bulan berpisah rasanya seperti hidup di padang pasir. Ia lebih sering melihat fatamorgana bersiluet bidadari yang selalu menghantuinya itu. Menyedihkan. Itulah kesimpulan hidupnya selama 4 bulan kemarin.

"Hallo, Assalamu'alaikum teh."

"......."

"Nanti saja teh. Hafidz mohon, tolong bawa Alya dan ayahnya ke Darus Salam. Aku akan segera menikahinya di sana."

"......."

"Please teh, nanti saja. Katakan saja pada ayah dan Abi, tapi rahasiakan dulu darinya. Aku ingin segera memeluknya, tapi kalau dia tahu rencanaku, aku takut dia kabur."

"........."

"InsyaAllah teh. Syukran."

***

Dengan kepala yang makin berat, setelah menghabiskan dua cangkir espresso yang Hafidz beli di Bandara, Hafidz melaju dengan taksi menuju Bandung. Entah amukan seperti apa yang akan dihadapi Hafidz nanti, yang jelas, dia tidak akan membuang-buang waktu lagi untuk mempersunting Alya Syahnaz. Wanita yang terus saja ia sakiti.

"Ada apa pak?" Tanya Hafidz karena taksi yang ia tumpangi berhenti bergerak.

"Sepertinya ada pohon tumbang, pak. Mungkin jalanan ditutup."

'Oh Ya Allah!'

Hafidz yang tak sabaran memutuskan untuk turun dan berjalan kaki, padahal jarak dari lokasinya sekarang ke Darus Salam masih setengah jam lagi dengan berjalan kaki. Ah, dia tak peduli. Dia hanya ingin tiba secepatnya.

"Saya akan jalan, bapak tolong antarkan koper saya ke alamat ini. Ini bayaran bapak, saat tiba saya akan bayar lagi sebagai uang terima kasih." Ucap Hafidz cepat, tak peduli jika hujan masih turun membasahi.

"Baik, pak. Terima kasih karena telah percaya."

"Sama-sama pak."

***

Pukul 20.04

Dengan tubuh yang basah kuyup, Hafidz tiba di Darus Salam. Terlihat mang Ujang terkejut karena saat terakhir kemari, dia tak bertemu dengan orang pondok yang mengenalnya.

Hafidz melewati Mang Ujang karena dia yakin, semua sudah berkumpul di rumah Kyai Mustafa. Ada mobil Elf yang terparkir di depan rumah. Ah, Ya Allah! Hafidz gugup setengah mati. Terlebih tubuhnya mulai menggigil, di tambah perutnya kosong sejak kemarin.

*

Nanaz's POV

Besok putra tampanku akan mengikuti lomba talent yang diadakan Darus Salam. Aku memang hendak pergi, tapi Teteh bilang,  Abi menyuruh kami semua datang. Jadilah kami sekeluarga ada di sini.

Aku mengecup kepala putra tampan yang jarang aku temui semenjak dia memutuskan mondok di tempat ayahnya ini. Masya Allah! Putraku semakin tampan saja.

Sungguh, aku selalu merasa bersalah melihat putra tampanku ini, karena dia tahu, berat bagiku memandang wajahnya. Setiap tahun dia semakin mirip saja dengan ayahnya, membuatku selalu teringat pada ayahnya tiap kali aku memandang wajah polosnya.

"Naz, ayo keluar!" Panggil kak Vian, yang juga ikut bersama kami.

"Iya, kak. Sebentar." Jawabku lalu memasang jilbabku lagi.

Dan akupun terkejut. Di hadapan kami semua, aku melihatnya yang datang dalam keadaan kacau. Wajahnya pucat, dan pakaiannya basah kuyup. Semua tatapan menunggu reaksiku. Ada apa? Kenapa dia di sini? Bukankah dia sudah memutuskan melepasku dan menetap di Mesir?

"Ana siap dihakimi kalian semua, tapi Hafidz mohon, halalkan ana dan Alya sekarang juga. Ana mohon, ana sudah tak kuat menahan letih." Pintanya dengan nafas yang memburu.

"Kau benar-benar keterlaluan." Keluh Abi tapi kemudian mengambil posisi di bangku kebesarannya, begitu pun ayah dan 2 orang pengasuh pesantren yang entah kapan datang. Kak Vian, Ummi, dan Teteh hanya berdiri di belakang setelah menyuruhku duduk di sebelahnya.

Aku hanya duduk dalam diam. Menghalalkanku? Apa... sudah waktunya aku bahagia?

Dan ya. Hanya dalam hitungan menit, walau baru sah secara agama, kami telah menjadi sepasang suami istri kembali. Tapi aku tak bisa berkata banyak, karena suamiku langsung pingsan setelah ijab qabul dinyatakan sah dan dihadiahi do'a oleh wali dan para saksi.

Yah Ampun!

*

Keesokkan harinya.

Pukul 07.00

Kulihat dia menggeliat dan ketika telah benar-benar terjaga, dia terlonjak kaget. Lucu.

"Katakan aku tidak bermimpi! Katakan kalau semalam kita telah menikah bukan? Katakan!" Ucapnya sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.

Aku tersenyum, dia ternyata sangat mencintaiku. Aku melepas tangannya. Kulihat dia tak rela. Lucunya, pria 34 tahun ini kenapa jadi menggemaskan seperti ini?

Aku menangkup wajahnya yang masih pucat, kukecup bibir tebalnya yang kering. Membuatnya membeku seketika. Oh Ya Allah! Kenapa dia begitu menggemaskan?

"Apa aku perlu menjawabnya lagi."

Dan dia langsung menarikku ke pelukannya. Membuatku sesak tapi aku membiarkannya. Hujan kecupan ia jatuhkan di wajahku membuat seluruh sarafku panas seketika. Dia tak pernah seliar ini.

"Maafkan aku. Maafkan atas segala kebodohanku. Ana Uhibbuk, Ana uhibbuk habibah." Katanya lagi di sela-sela hujan kecupannya yang tidak ada tanda-tanda akan berhenti, sampai suara perutnya yang mengerikan terdengar.

"Aku sudah dua hari tidak makan. Aku benar-benar gila karenamu."

Aku menghadiahinya kecupan sekali lagi. Dalam dan manis, lalu kuambil bubur di atas nakas. Suamiku butuh diurus.

***

Waktu menunjukkan pukul 08.30 ketika akhirnya kami selesai mandi. Ya. Kami, karena Pangeran Tampan Darus Salam yang sudah kembali mengatakan itu adalah sunah rasul yang harus dilakukan. Dasar tukang curi-curi kesempatan. Kalau tidak ingat putraku akan tampil hari ini, aku mungkin akan menurutinya lebih lama di dalam kamar. Hey, aku pun merindukanya. Tak salah kan?

"Apakah kita harus datang ke lomba itu?" Tanyanya saat aku tengah mengancingkan baju kurungnya.

"Harus. Terutama kau. Ayo, cepat. Mungkin kita sudah terlambat." Ucapku menepuk bokong sexynya.

"Tapi aku masih lemas. Kepalaku juga masih agak pusing." Rengeknya dibuat-buat.

"Masa? Tapi di kamar mandi sepertinya Tuan sangat sehat." Skakmat. Haha.

Dia mencebik. Kalah berdebat denganku. Tentu saja. Aku nyonyanya saat ini.

"Dasar tidak peka." Keluhnya sambil mencari kopiahnya di dalam koper.

"Kau akan sembuh setelah melihat lomba nanti. Percayalah."

Dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya jika dia tahu, dia telah memiliki putra tampan yang sangat hebat di usianya yang baru enam setengah tahun. Semoga dia lebih bahagia lagi, karena aku sudah lelah dengan ujian. Bukannya aku tidak bersyukur, tapi Innama'al usri yusraa_sesungguhnya sesudah kesulitan pasti ada kemudahan kan? Iya kan?

Rabb... bolehkah kami sekarang bahagia sebagai satu keluarga yang utuh?

Bolehkan, Rabb??

























































































Mana makhluk yang bilang aku jahat. Mana? 😄😄😄😄😄😄😄

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang