Ekstra Part ( Aqil kangen papa )

1K 59 1
                                    

Aqil tahu dia tidak seharusnya bersikap buruk pada orang tuanya, tapi dia hanyalah anak kecil yang terluka karena perpisahan orang tua, dan hidup dalam keluarga yang tak sempurna.

Dia masih bisa tersenyum saat pertama berjumpa dengan Hafidz, karena dia bahkan tak tahu jika Hafidz adalah ayahnya. Tapi kini setelah tahu, Aqil merasa ada tembok yang besar yang menghalanginya dengan si Ayah.

Aqil membuka matanya di jam 02.00 dini hari. Di tengah keremangan, ia melihat ayahnya meringkuk di lantai beralaskan tikar lipat dan selimut.

Ditatapnya sang ayah lekat-lekat. Tanpa sadar, tangannya terjulur dan menyentuh ujung hidung sang ayah. Yang disentuh membuka matanya dan tersenyum. Aqil menarik kembali lengannya, tapi masih belum menolehkan wajahnya.

"Kakak mau qiyamul lail sama ayah?" Ya. Mulai sekarang panggilannya kakak, toh Hafidz sudah menggauli istrinya kemarin di kamar mandi, bukan tak mungkin jika istrinya hamil lagi.

"Aqil selalu qiyamul lail dengan Aki." Ucapnya secara tidak langsung mengatakan bahwa Hafidz tak pernah ada untuknya.

*

Aqil turun dari ranjang dan ke kamar mandi. Dengan cekatan ia mengambil baju yang memang ada beberapa di kamar bekas ayahnya ini. Aqil punya 3 teritori kamar di Darus Salam. Di sini, di pondok ayahnya, dan di kamar santri. Senin sampai kamis dia akan tinggal di pondok, sebisa mungkin tidak bolak-balik ke rumah Akinya, baru jum'at malam sampai minggu ia tinggal bersama Aki dan Nininya, dan menghabiskan waktu di pondok untuk melakukan hobi foto-fotonya. Ya. Dia menguasai semua kamera peninggalan ayahnya walau masih belajar. Vianlah yang mengajarkannya sejak ia umur 5 tahun. Aqil anak yang cerdas, tidak butuh waktu lama hingga dia menguasai kamera XLR, meski usianya masih terlalu muda untuk itu.

Hafidz bergegas menyusul putranya yang rajin, dilihat sang putra mengecup Ummahnya yang masih terlelap ketika Hafidz baru keluar dari kamar mandi.

"Aqil sayang ummah karena Allah." Ucapnya setelah kecupan sayang pada ummahnya.

Hafidz tertohok. Dia punya tiga tahun untuk kembali, tapi dia malah tetap bersembunyi. Inilah harga yang harus dibayarnya. Aqil sudah cukup dewasa untuk tahu jika dia selalu hidup tanpa seorang ayah. Ah, seandainya waktu bisa diputar kembali.

"Ayah pun sayang kakak karena Allah." Gumam Hafidz setelah Aqil keluar kamar, besar harapannya, sang anak akan luluh suatu hari nanti.

***

Beberapa minggu kemudian.

"Pokoknya Aqil mau pindah kelas Ummah." Rengek Aqil di suatu jum'at sore di rumah Kyai Mustafa. Akinya.

Aki hanya berwajah datar dan Nininya hanya tersenyum mendengar celotehan cucu tampan kesayangannya. Aqil kadang memang terlihat lebih dewasa, tapi dia tetap saja bocah yang usianya bahkan belum genap tujuh tahun.

"Ya tapi kenapa sayang? Memangnya ada yang nakalin kakak di kelas yang sekarang?"

Aqil ragu untuk menjawab. Dia mulai menggigiti bibirnya. Nanaz sebenarnya tahu kenapa putranya ingin pindah kelas, tapi dia harus mendukung usaha suaminya untuk mengambil hati sang putra.

"Ummah nggak ngerti." Ucapnya lalu duduk di sebelah Nininya. Sang Nini membelai dan membawa sang cucu yang kesal ke dalam pelukannya. Tak lama, Nanaz datang membawa pisang goreng dan teh manis untuk kudapan.

*

"Assalamu'alaikum." Sapa Hafidz yang baru datang. Dia kalah cepat dengan sang putra.

"Wa'alaikumus salam warahmatullah." Jawab semua orang serempak kecuali seseorang berwajah kecut. Mengingatkan Hafidz pada istrinya ketika ia baru datang ke pesantren ini. Menggemaskan.

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang