"Bagaimana dia, Na?" Tanya Ummi ketika Hasna keluar dari kamar Hafidz, kamar yang sudah diaku milik oleh Nanaz semenjak ia datang ke Darus Salam.
"Alhamdulillah, Mi, sudah tidur. Tadi sempet bilang kangen Nyai, soalnya pas terakhir Nyai di sini, Nanaz belum sempet ketemu Nyai kan."
Untuk diketahui, Nyai Dahlia memang tidak tinggal di Ponpes Darus Salam. Beliau hanya menginap jika Abi dan Ummi ada safari dakwah atau panggilan seminar di luar kota. Maklumlah, keadaan Hasna tidak memungkinkannya melakukan banyak hal. Jadi setiap kali Abi dan Ummi pergi, Nyai akan segera menggantikan peran Abi dan Ummi di Darus Salam.
"Alhamdulillah. Biarkan dia menginap di sini sampai lecetnya kering. Biar Ummi yang menghubungi kesiswaan akhwat nanti." Tambah lagi Ummi memastikan.
"Baik, Ummi. Hasna ke kamar dulu, Mi, Abi. Assalamu'alaikum."
Salam itupun dijawab serempak, juga oleh Hafidz yang menyadari kemarahan kakaknya.
"Hafidz juga pamit Ummi, Abi. Ana mau ke apotik besar di kota, kalau nggak salah ada krim bagus untuk luka bakar, lecet dan memar. Ana akan coba cari buat dia."
"Kau harus siap dengan penolakan Alya, Fidz. Walau bagaimanapun kau belum berhasil mengambil simpatinya." Ucap Abi membekukan langkah Hafidz.
Hafidz yakin benar akan hal itu. Sangatlah mudah meyakinkan ribuan jama'ah untuk bergabung di ICF, lebih mudah lagi mempesona para akhwat di luar sana, tapi untuk Nanaz, semua ilmu dan pesona Hafidz terasa tak berguna, entah apa yang harus ia lakukan untuk mengambil hati calon istrinya itu. Tapi yang jelas, Hafidz tidak akan lelah berjuang.
***
"Nyai kapan kemari lagi, Ummi?" Tanya Nanaz yang sedang tidur-tiduran beralaskan kaki Ummi sembari merasakan tepukan sayang di lengannya. Ummi, Hasna dan Nanaz sedang berada di ruang tengah keluarga Salam. Abi sedang ada kajian di mesjid, sedang Hafidz, dia bahkan tidak berani mengganggu mood Nanaz saat ini. Dia ingin membiarkan calonnya itu nyaman sebelum akad mereka yang insyaAllah akan diadakan dua minggu lagi. Meski begitu, Nanaz belum sama sekali diberitahu. Pihak orang tua yakin, Nanaz tidak akan menolak perjodohannya. Mereka sangat yakin akan hal itu.
"Nyai adalah penasehat yayasan Majelis Nurrudiin di Lebak Sawah. Jadi Nyai lebih diperlukan di sana. Tapi kalau sabtu minggu seperti sekarang, kamu bisa menengoknya di sana. Ummi bisa menyuruh mang Ujang mengantarmu nanti. Cuma kangen Nyai aja, Nanaz nggak kangen sama Bunda dan Ayah?"
"Kangen Ummi. Apalagi sama Bunda, tapi Nanaz mau memegang amanah Abi dulu untuk mengenal lagi syari'at agama, baru nengok Bunda kalau Bunda belum bisa kemari. Sekarang, Nanaz masih harus banyak belajar Ummi."
Ummi tersenyum, senang karena semakin ke sini, Nanaz semakin kembali pada kodratnya sebagai muslimah yang mukminah. Tak salahlah dia menjodohkan anak sahabat dekatnya ini, apalagi ternyata Hafidz sudah jatuh lebih dulu pada Nanaz. Allah memang punya cara luar biasa untuk mempertemukan setiap hamba-hambanya. Wallahu!
*
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumus salam warahmatullaah." Jawab Ummi, Hasna dan Nanaz serempak.
"Suara ikhwan, biar Ummi saja." Kata Ummi langsung.
Dan tak lama masuklah seorang pria berambut gondrong dan berjaket kulit hitam. Wajahnya kacau dan agak sembab. Pria itu tanpa babibu langsung memeluk Nanaz dan menjatuhkan air matanya.
"Kakak... ada apa?"
"Kakak ke sini mau jemput kamu, dek. Bunda kritis di rumah sakit."
Dan setelah itu, kepala Nanaz tak bisa memikirkan apapun lagi.
Bunda?
Kritis?
Di rumah sakit?
Tapi kenapa?
Kenapa?
***
"Assalamu'alaikum Aden!" Panggil Mang Ujang di depan pintu pondok Hafidz. Pondok kecil yang terpisah dari pondok santriwan meski masih dalam 1 komplek asrama.
"Wa'alaikumus salam warahmatullah. Ya, Mang? Kunaon?" Tanya Hafidz yang langsung membukakan pintu kamarnya.
"Maaf Den, Aden ditunggu Kyai dan Ummi di rumah, Aden harus ikut beliau ke Jakarta katanya."
"Sekarang?" Tanya Hafidz heran.
"Nuhun Den, sekarang juga katanya."
Entah kenapa, perasaan Hafidz jadi tidak karuan. Seakan-akan ada kejadian buruk yang akan terjadi.
Dan benar saja, ketika Hafidz, Abi, Ummi dan Nyai tiba di tujuan mereka yang ternyata adalah rumah sakit tempat ibu Nanaz dirawat, di sanalah Hafidz melihatnya. Dia, menangis di samping raga yang terlihat begitu lemah, membuat siapapun akan iba, termasuk Hafidz yang berharap bisa melakukan sesuatu untuknya. Yang lain masih belum masuk, mereka mengurus sesuatu, mengurus akad yang sebentar lagi akan dijab qabulkan.
Ya. Itulah alasan Hafidz berada di sini. Untuk menikahi surga taman hatinya.
*
Hafidz's POV
"Assalamu'alaikum Alya." Ucapku ragu. Ini adalah pertama kalinya aku memanggil namanya secara langsung.
Wajah yang sembab itu kini terlihat jelas. Wajah yang akan dan boleh kusentuh tanpa takut mendapat murka Allah sebentar lagi, wajah yang akan dan ingin kubuat tersenyum, meski mungkin akan sulit bagiku melakukannya.
Zep.
Astagfirullah. Ya Rabb!!
"Bunda sakit... bunda sakit parah... dokter bilang bunda tidak akan selamat.. bunda... bunda...."
Ya Rabb! Apa yang harus hamba lakukan? Kami bersentuhan.
Dan dosa itupun kulakukan. Biarlah setelah ini aku akan memohon ampun atas apa yang telah aku lakukan. Membiarkan sentuhan haram kami.
Perlahan aku menepuk pelan punggungnya yang bergetar. Ingin sekali aku menenangkannya.
"Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus-ahaa. Dan Allah tidak memberi ujian selain sesuai kesanggupan hambanya. Allahumma indaka ahtasibuu musibatii, fa-ahrijnii fiihaa wa abdilni minhaa khairaa. Ya Allah, hanya kepada Engkaulah, hamba hadapkan masalah hamba, maka berikanlah hamba pahala karena musibah ini, dan berikanlah yang baik sebagai gantinya. Bacalah yang banyak, kau pasti akan merasa lebih baik."
Bacalah dan aku akan menemanimu melalui segalanya. Aku berjanji.

KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA DI TAMAN HATI
RomanceAlya Sahnaz adalah remaja metropolitan kebanyakan. Pergaulan telah menjadikannya urakan dan tidak tahu aturan. Lalu bagaimana jika sang ayah akhirnya memasukkannya ke pesantren yang tidak disukainya? Akankah Nanaz bertahan di pondok yang ketat denga...