"Pokoknya selama Ummi nggak ada, kamu masak seadanya saja. Kalau nggak makan di kantin pondok saja. Nggak usah masak."
"Iya, Ummi. Tapi benar kan Aa pulang besok? Nanaz takut ada tamu nanti, Ummi. Kan tiap hari ada aja yang cari Abi. Yang ngundang ceramah lah, yang ngundang dzikir lah. Nanaz takut salah bertindak, Ummi." Gerutu Nanaz sambil membantu Ummi merapikan barang-barang yang akan diboyong ke Blitar. Tempat Kyai Junaed, sahabat baik Abi, mengadakan hajat pernikahan untuk cucunya.
"InsyaAllah kalau tidak ada halangan pulang besok sayang. Kalau benar-benar takut kamu tinggal di kamar santri aja ya, neng." Pinta Ummi mencoba menenangkan mantunya yang gelisah. Maklumlah, baru kali ini ia ditinggal sendiri karena Hasna juga akan diajak. Terlebih Nyai juga tidak bisa menggantikan Ummi di rumah karena tengah sibuk-sibuknya di Majelis.
"Embung lah, Mi. Masa rumah kosong.
Nanaz di sini aja, Ummi."Nanaz menatap kepergian keluarga keduanya dan menghela nafas. Dia berharap tidak ada tamu yang datang sebelum suaminya pulang dari seminar ICF di ibukota.
***
Pukul 22.31
Nana bergulang-guling tak karuan karena tak bisa tidur dengan lampu terang, tapi jika dimatikan dia akan mati ketakutan. Entah kenapa suasananya jadi mencekam seperti ini. Nanaz membaca kembali surah Al-Ikhlas 3 kali, ayat kursi, hauqallah dan do'a tidur, kemudian mematikan lampu kamarnya.
Nanaz tidak tahu berapa lama ia tertidur, tapi yang jelas, ia terbangun karena mendengar suara ceklek pintu kamarnya. Nanaz yang ketakutan langsung waspada. Dia mencoba menuruni ranjang tanpa harus menyalakan lampu kamarnya. Habislah ia jika ternyata penyusup itu berhasil menangkapnya.
Ceklek.
Kamar menyala. Nanaz mematung melihat sosok di hadapannya ketika dia masih membungkuk di sisi ranjang.
"Assalamu'alaikum ya bidadari!"
Nanaz yang lega terlihat emosional dan langsung berhambur ke pelukan suaminya yang baru pulang itu.
"Wa'alaikumus salam. Wa'alaikumus salam." Isak Nanaz dengan lebih mengeratkan pelukannya di leher sang suami. Ia benar-benar ketakutan tadi. Sendirian di kota dengan di desa terasa sangat berbeda bagi gadis 17 tahun itu.
"Takut, ya?"
Nanaz turun dan mengangguk dalam isakkannya. Hafidz tersenyum lembut. Untung saja Umminya mengatakan Nanaz yang sepertinya ketakutan ditinggal sendiri, jadi Hafidz langsung mempercepat kepulangannya. Tak terbayang jika Nanaz harus melalui malam ini dengan bayang-bayang ketakutannya.
*
Ketika Hafidz tiba, lampu sudah mati, jadi dia sengaja tidak mengetuk pintu, takut-takut istrinya itu sudah tidur. Tapi ia menyesal karena ternyata itu malah membuat istrinya begitu ketakutan. Hafidz bahkan tak pernah melihat Nanaz sampai gemetar seperti ini.
"Afwan sayang. Aa pikir kamu sudah tidur, jadi Aa langsung masuk saja." Ujar Hafidz sambil mengelus-elus lengan atas Nanaz. Berharap tubuh mungil itu berhenti gemetar.
Nanaz hanya mengeleng. Tidak apa, yang penting dia tidak sendiri malam ini.
***
Hafidz's POV
Ya Rabb! Kasihan sekali istriku. Dia sampai menggigil seperti ini.
Aku mengecup dahinya dan memegang ubun-ubunnya. Ini sudah hari ke-9, dia pasti sudah bersih kan?
"Allahumma inni as-aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha alaih, wa a'uudzubika min syarriha wa syarrii ma jabaltaha alaih."
Ya Allah! Aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa, dan aku berlindung dari kejelekannya, dan kejelekan tabiatnya yang ia bawa.
Dia masih mengerjap-ngerjap, meski demikian, dia tahu apa yang tengah kulakukan. Aku memulai ritual pengantin baru kami yang teramat sangat terlambat.
"Berwudhulah, setelah itu kita sholat sunnah pengantin."
Dia yang gugup hanya menurut tanpa kata. Sholat ini terasa begitu syahdu untukku. Rasanya aku ingin menangis dalam setiap gerakan tuma'ninah kami. Setelah malam ini, sempurnalah kebahagiaan kami sebagai pasangan suami istri yang diridhoi Allah.
Aku sebenarnya sudah pernah membacakan do'a pengantin baru padanya ketika dia pingsan di hari kepergian ibunya, tapi malam ini aku ingin melaksanakan semuanya sesuai dengan tuntunan Rasul. Dia sudah menolak resepsi yang diinginkan keluargaku, setidaknya aku akan menyempurnakan sunah ini dengan sebagaimana mestinya.
*
Setelah sholat sunah, aku memegang kembali ubun-ubunnya di pinggir ranjang cinta kami. Kembali kudo'akan dirinya agar kami diberkahi dengan kebaikan dan ridho Ilahi.
Dia menatapku tanpa kata. Dengan senyum, kubuka mukenanya dan kulihat makhluk Allah yang tak ubahnya bak bidadari bagiku.
"Masya Allah! Tahukah kau betapa aku bersyukur pada Allah karena telah mengamanahkanmu padaku? Allah telah menciptakanmu dengan sebaik-baik bentuk untukku. Sebagai perhiasan duniaku." Ucapku sembari mengelus rambut panjang sutranya.
Dia masih tak berkata. Hanya menunduk dengan rona delima yang selalu membuatku jatuh cinta.
"Ana uhibbuk fillah ya habibah." Dan aku membiarkan keheningan malam memeluk kami dalam kehangatan yang membara.
Perlahan-lahan, kami menyatukan nafkah batin kami masing-masing.
Perlahan-lahan, kami menghentakkan jiwa kami masing-masing.
Dan perlahan-lahan, peluh ibadah kami melebur jadi satu hingga ledakan madu itu kami rasakan bersama.
Kuhapus air mata pengorbanannya malam ini, dan kuambil dia ke dalam pelukanku.
Dia tak mampu lagi membuat matanya terjaga. Sepertinya, aku sudah menguras semua tenaganya. Meski begitu kulihat senyum dalam lelapnya. Ah bahagianya meneguk madu cinta bersama.
"Ana ubibbuk fillah ya habibah." Ucapku lagi sebelum menyusulnya ke dalam mimpi indah kami.
.
.
.
.
Laa adri kam yabqa lii minal umri...al muhim, annal umra kulluhu abqa ma'aka.
.
Aku tidak tahu sisa umurku, tapi yang penting, aku bersamamu sepanjang umur.
.
.
Surga di Taman Hati
Hafidz Ali Saujana
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA DI TAMAN HATI
RomanceAlya Sahnaz adalah remaja metropolitan kebanyakan. Pergaulan telah menjadikannya urakan dan tidak tahu aturan. Lalu bagaimana jika sang ayah akhirnya memasukkannya ke pesantren yang tidak disukainya? Akankah Nanaz bertahan di pondok yang ketat denga...