Chapter 14

720 63 0
                                    

Nanaz terbangun ketika dia mendengar suara yasinan dari luar pintu. Dengan gontai, Nanaz membangkitkan dirinya dan mencoba melihat ke luar. Walau dia tahu mungkin apa yang ada di luar, tapi Nanaz masih berharap ini hanyalah mimpi buruk yang sangat buruk, mimpi yang ketika bangun, semua akan hilang dan terlupakan. Ya, mungkin ini hanya mimpi. Tapi nyatanya tidak. Nyatanya air matanya mengalir, nyatanya dia melihat kerumunan orang berbaju hitam, nyatanya di antara mereka Nanaz melihat dengan jelas, Ayahnya, kakaknya, mereka larut dalam kesedihannya.

Setapak dua tapak Nanaz menuruni tangga marmer yang dingin. Setapak dua tapak dia mencoba mencari dimana keberadaan raga yang ingin ia peluk untuk terakhir kalinya, tapi sejauh mata memandang, raga itu tak ada dimanapun.

Bugh.

Saat langkahnya tinggal selangkah lagi, Nanaz terjatuh di anak tangga terakhir, menarik perhatian banyak orang, terutama wajah-wajah yang ia kenal.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya pria yang sudah menjadi suami Nanaz.

Tanya pria itu tak terjawab karena Nanaz seperti orang linglung. Matanya masih mencari raga yang ingin ia peluk dan cium. Tapi sialnya, raga itu tak ada dimanapun.

"Bunda!!! Bundaa!!"

"Mana bunda yah?" Tanya Nanaz ketika ayahnya menghampirinya. Terlihat jelas bagaimana kesedihan terukir di wajah pria paruh baya itu.

"Maaf sayang. Kami tidak bisa menunggumu. Bunda sudah dikebumikan." Air mata menghiasi pria paruh baya itu. Sesak karena kehilangan istri yang ia cintai masihlah sangat terasa.

Nanaz melotot tak percaya dengan air mata yang langsung meluncur jatuh.

"AYAH JAHAT! JAHAT! AYAH BAHKAN NGGAK IJININ NANAZ BUAT LIHAT BUNDA UNTUK YANG TERAKHIR KALINYA. AYAH JAHAT! NANAZ BENCI AYAH. NANAZ BENCI! NANAZ BENCI!!!"

Wijaya Mahendra tak bisa menahan sesak yang bertambah ketika melihat kesedihan putrinya. Dia memang bersalah. Seharusnya dia tidak menuruti istrinya untuk merahasiakan penyakit yang dideritanya dan meninggalkan penyesalan pada sang anak. Alvian terlihat lebih tegar, tapi dia tahu, sulungnya pun sangat membencinya. Dia juga sama sedihnya dengan Nanaz, walau tanpa banyak air mata dan teriakan pilu darinya.

Abi memberi kode pada Hafidz untuk membawa istrinya ke kamar, tidak enak dilihat para tamu yang bertakziah. Hafidz pun menggendong istrinya di depan, tak peduli dengan rontaan dan teriakannya. Ummi tak bisa menyusul karena sibuk di dapur bersama Nyai. Hanya Hafidz yang harus menenangkan Nanaz saat ini.

Hafidz mengunci pintu dan melepas Nanaz kemudian. Nanaz masih histeris dan mencoba keluar.

"BUKA! BUKA PINTUNYA! AKU HARUS MELIHAT BUNDA! AKU MAU MELIHAT BUNDA! BUNDAAA...."

Hafidz mendudukkan paksa Nanaz. Berlutut dan menggenggam tangan istrinya yang terlihat sangat kacau itu. Wajahnya bengkak dan memerah, bajunya pun sudah basah karena keringat dan air mata. Lupakan penutup kepalanya,  bentuknya sudah tak karuan dengan rambut yang keluar seenaknya.

"Laa tahzan! Innallaha ma'ana. Innallaha ma'ana. Allah bersama kita. Allah bersama kita. Hmm?"

Jerit dan tangis Nanaz langsung terhenti ketika mendengar surah At-Taubah ayat ke-40 itu. Nanaz melihat wajah tampan yang sendu itu. Wajah itu tersenyum dan menangkup wajah Nanaz yang masih sesenggukan.

"Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-hambanya. Jikalau Allah menguji kita, itu karena Dia sayang. Dia tahu hambanya pasti bisa melaluinya. Laa yukallifullahu nafsan illaa wus-aha_Allah tidak akan menguji seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Kau gadis yang hebat, karena itu Allah yakin, kau bisa melalui semua ujian ini. Hmm?"

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang