Chapter 4

793 55 1
                                    

Pukul 06.30

"Bunda....bunda...." Racau Nanaz dalam tidur gelisahnya.

Nyai dan Hasna semakin cemas karena demam Nanaz tidak kunjung turun meski sudah dikompres semalaman. Mereka pun memutuskan memanggil mantri kampung untuk memeriksa gadis 16 tahun itu. Siapa yang tak iba melihatnya? Siapa yang akan menyalahkannya jika dia sampai seperti ini? Anak-anak sebaik apapun akan melenceng jika sudah bersentuhan dengan pergaulan bebas yang sudah tak menurut ajaran karimah.

"Cepat pakaikan kerudung sebelum mantri datang Na." Perintah Nyai pada Hasna yang sangat gesit dengan kursi rodanya. Tak sedikitpun dia merasa terbebani dengan apa yang diperintahkan neneknya.

***

Pukul 06.55

Hafidz baru selesai dari kajian subuh ketika dia melihat seorang mantri kampung datang bersama dengan dua orang santriwan yang sepertinya ditugaskan.

'Gadis itu sakit', pikir Hafidz. Entah kenapa rasa penasaran bergentayangan di kepala Hafidz. Siapakah gadis itu yang sudah sampai membuat nenek dan kakaknya begitu cemas dan sangat memperhatikannya? Mau bertanya pun Hafidz tak bisa. Jadi dari pada pikirannya mengelana ke arah mudharat, Hafidz segera melangkahkan kakinya ke ponpes dan bersiap-siap mengajar.

***

"Eh, apa kalian tahu, katanya ada tamu misterius semalam di kediaman Kyai. Mereka datang malam-malam, dan pas datang, salah satu tamu itu dalam keadaan tak sadar."

Langkah Hafidz terhenti. Mencuri dengar pembicaraan itu salah, tapi entah kenapa rasa penasarannya akan tamu misterius itu semakin membuncah. Nyai dan Hasna yang sampai rela mengusirnya pun tak kunjung menjelaskan apapun. Mungkin santriwati-santriwati itu tahu sesuatu. Setidaknya mereka tidak dilarang masuk ke rumahnya, tidak seperti dirinya.

"Oh ya?" Tanya salah satu santri dengan logat ibukota yang kentara.

"Betul itu. Pas Ana ke rumah Nyai subuh tadi, Ana sempat melihatnya. Seorang gadis, seusia kita sepertinya. Dia tinggal di kamar Ustadz Hafidz."

"MA?????" teriakan beberapa santriwati itu mengagetkan Hafidz.

Hafidz berdeham, membuat para santriwati yang duduk di meja dekat pintu langsung berhamburan. Bagaimana jika ustadz mendengar mereka bergosip dan melaporkan pada Komite Kesantrian? Membayangkan hukum cambuk di betis saja langsung membuat mereka ciut.

"Assalamu'alaikum." Sapa Hafidz sambil tersenyum biasa. Tak berlebihan.

"Wa'alaikumus salam warahmatullahi wa barakaatuh." Jawab santri perempuan kelas 10 itu serempak. Mata mereka tak malu untuk melihat ketampanan Hafidz yang akhirnya pulang ke Ponpes. Rupanya kabar tentang ketampanan putra satu-satunya Kyai pemilik Nurus Salam ternyata benar adanya.

"Ahlan wa sahlan!"

"Ahlan biik!"

Hafidz duduk dan meletakkan kitab tafsirnya. Bersiap untuk mengajar Qurdist_Alqur'an dan Hadist. Bidang yang memang ia tekuni selama menuntut ilmu di Kairo.

"Wal fitnatu assyaddu minnal qatl. Dan fitnah itu lebih dahsyat dari pembunuhan. Qur'an suroh Al-Baqarah ayat 191."

Para santriwati terdiam. Ustadz sedang menyindir mereka. Pastilah ustadz tampan itu mendengar apa yang tadi mereka gibahkan.

"Wal fitnatu akbaru minnal qatl. Dan fitnah itu lebih besar dari pada pembunuhan. Qur'an suroh Al-Baqarah ayat 217."

"Dua ayat ini menjelaskan bahwasannya fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Meskipun sesuatu itu benar dan bukan fitnah belaka, tapi membicarakan keburukan orang lain tak ubahnya memakan daging saudaranya sendiri. Bukankah setiap muslim itu bersaudara?"

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang