Hafidz tiba di Ibu kota sekitar pukul 12 siang. Setelah menemui orang tuanya di hotel tempat mereka menghadiri seminar islam, keluarga tawadhu itupun langsung melipir ke rumah sakit, menjenguk sahabat orang tuanya yang kini sedang berjuang melawan penyakitnya.
Mumpung sedang di Jakarta, mumpung ini hari terakhirnya di Ibukota sebelum menetap di Bandung, Hafidz minta izin untuk pergi ke suatu tempat yang memang sudah ia rencanakan sebelum ia ke Kalimantan. Alhasil, setelah melaksanakan sholat zuhur berjama'ah dan menyapa sahabat orang tuanya, Hafidz pamit. Di kalungkannya kamera XLR andalannya yang ia beli dari hasil jerih payahnya sendiri.
KLIK.
KLIK.
KLIK.
Hafidz tersenyum melihat preview gambar-gambar yang telah ditangkapnya. Dilihatnya jam di tangan kirinya, ternyata baru satu jam berlalu. Hafidz masih punya kurang lebih dua jam sebelum menjemput orang tuanya di rumah sakit yang tadi ia kunjungi.
Hafidz menghela nafas berat. Betapa ketimpangan sosial begitu kentara saat dia melihat betapa kumuhnya pemukiman yang ia datangi saat ini. Tidak banyak yang tinggal di sini, hanya para pemulung dan pengamen yang tinggal di rumah semi permanen. Sedang di hadapannya, sebuat sky scraper maha elit berdiri kokoh, menghalangi cahaya di satu sisi pemukiman kumuh ini.
Hafidz yang tengah bersandar sejenak meneruskan bidikannya. Matanya membulat sempurna ketika ia menangkap gambar yang tak biasa. Beberapa anak yang tengah diganggu preman jalanan. Hafidz baru saja hendak turun ketika dia melihat preman itu dijatuhkan oleh gadis bertubuh mungil yang tiba-tiba saja datang.
'Ada pendekar cilik rupanya.' Batinnya tersenyum.
Alih-alih turun dan menghampiri si pendekar untuk membantunya, Hafidz malah terus membidik si Pendekar Cilik dengan kamera andalannya.
KLIK
KLIK
KLIK
Dan ketika tersadar ia telah berzina dengan matanya, pria 25 tahun itu segera beristigfar. Syahwat adalah musuh yang paling berat bahkan bagi muslim ta'at seperti Hafidz sekalipun.
Dia segera mengenyahkan gambaran pendekar cilik bermanik indah itu dan melangkahkan kakinya pergi. Hatinya harus kosong karena tak lama lagi dia akan menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. Wanita yang pastinya tertutup auratnya, santun lisannya, dan minimal seorang hafidzah untuk mengimbanginya. Wanita shalehah perhiasan dunia baginya, yang entah siapa, yang jelas, bukan pendekar cilik itu.
***
"Kamu tahu kan kenapa kamu Abi panggil pulang, Fidz?" Tanya Kyai Besar Ponpes Nurus Salam ketika mereka sudah tiba di kediaman mereka, rumah kasepuhan di komplek ponpes yang didirikan dari uyut dari uyutnya Hafidz, Kyai Agung Panembahan Senopati.
"Na'am Abi, Ana sudah harus menikah." Jawabnya singkat.
"Hmm. Usia 25 tahun adalah usia yang matang bagimu untuk menjalankan sunah rasul. Abi sudah membiarkanmu berkelana ke sana ke mari, tapi Abi mohon, berlabuhlah sekarang. Abi dan Ummi ingin segera menimang cucu dan melihat keturunan yang akan melanjutkan garis keturunan keluarga kita Fidz. Selagi Gusti Allah masih menitipkan nyawa ini pada Abi."
"Iya, Bi. Maafkan Hafidz karena sudah egois selama ini. InsyaAllah, Hafidz siap dengan siapapun pilihan yang Abi dan Ummi ridhoi."
Kyai Mustofa, ayah Hafidz menghela nafas. Dia tidak yakin anaknya akan menerima pilihannya, terlebih Hafidz punya gambaran sempurna akan perhiasan dunia yang harus disandingkan dengannya.
"Bi," panggil Hafidz yang mengetahui keresahan ayah kandanya.
"Hafidz, sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita yang sholehah, tapi Abi memiliki amanah yang harus Abi laksanakan. Abi harap kau mau menerimanya."
Hafidz mengerutkan dahi. Tak mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan berlanjut, bukankah mereka tengah membahas perihal pernikahan Hafidz? Lalu amanah apa yang dimaksudkan ayahnya?
"Ana la tahfam, Abi. Amanah apa yang Abi maksud?" Tanya Hafidz ketika Umminya datang membawa teh dan pisang goreng, kudapan nikmat di malam dingin di dataran tinggi seperti kediaman mereka.
"Ummi dan Abi akan menjodohkanmu dengan putri sahabat Abi dan Ummi, anak dari orang tua yang tadi siang kau temui, anak yang sedari dulu memang ingin kami jodohkan denganmu, meski begitu Abi dan Ummi harus jujur, mungkin imannya tak seindah dengan kriteria yang kau inginkan Fidz."
Hafidz memutar sedikit memorinya ke belakang. Memori di saat Abi dan Ummi menanyakan wanita seperti apa yang ingin ia carikan sebagai pendamping hidupnya.
"Tak muluk-muluk lah Bi, Ummi. Tak perlu secantik bidadari, yang penting cantik hatinya, indah imannya, hafidzah setidaknya satu juz, kalau boleh 30 juz, biar kami berjodoh bukan hanya di dunia, tapi juga insyaAllah sampai ke surga."
Tapi kini bayangan tentang wanita sholehah itu tiba-tiba saja berganti dengan wajah bidadari di kebun Waru, pendekar cilik yang sepertinya masih begitu belia, bidadari yang terkurung dalam microSDnya yang tak berani ia lihat karena takut gemuruh itu datang kembali, menggoda imannya pada kejahatan syahwat karena bayangan yang tak mau hilang dari pikiran.
'Astagfirullah.' Batin Hafidz lalu melihat ke arah orang tuanya yang masih menunggu balasannya.
"Hafidz pun belum sempurna, Bi. Kalaupun Hafidz waktu itu mengatakan sesuatu, murni hanya karena asal bicara, karena menurut Hafidz, standard seperti itulah yang mungkin dipilihkan Abi untuk Hafidz. Tapi kalaupun dia hanya wanita biasa, asal Abi dan Ummi redho, insyaAllah, Hafidz juga redho lillaahi ta'ala. Sekurang apapun dia, toh, kami bisa sama-sama belajar kan Bi?"
"Alhamdulillah. Abi bangga sama kamu. Tak salah Abi menitipkanmu pada Kyai Ma'ruf. Kau mewarisi ketawadhuan beliau."
Hafidz tersenyum. Kali ini agak berat baginya, karena entah kenapa wajah si Pendekar Cilik bergentayangan di kepalanya.
'Ya Rabb, musnahkanlah perasaan ini jika dia memang bukan yang kau tetapkan bagi hamba. Jangan biarkan gemuruh ini semakin menggelenyar di hati kecil hamba.'
Kalau ada kesalahan dalam bahasa Arab yang diselipkan harap maklum. Bahasa Arab yang sempat Ana pelajari kelelep entah kemana 😅😅. Mau pakai translator malas kalee 😂😂😂. Aku masih belum pede buat karya islami seperti ini. Ya anggaplah belajar. You'll never know till you have tried, right?😊
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA DI TAMAN HATI
RomanceAlya Sahnaz adalah remaja metropolitan kebanyakan. Pergaulan telah menjadikannya urakan dan tidak tahu aturan. Lalu bagaimana jika sang ayah akhirnya memasukkannya ke pesantren yang tidak disukainya? Akankah Nanaz bertahan di pondok yang ketat denga...