Chapter 24

691 50 1
                                    

"Nanaz mau jadi dokter."

Hafidz membeku sesaat. Dilihatnya wajah seorang istri yang ia harap bisa mendampinginya setiap saat, tapi di saat yang sama, ia juga melihat wajah belia yang penuh akan mimpi dan cita-cita. Hafidz tersenyum. Mana bisa dia membunuh mimpi seorang gadis di usia pendewasaannya? Rasa-rasanya terlalu kejam.

"Ganti baju sana. Kita bicarakan sambil kencan."

"Kencan?" Tanya Nanaz dengan mengerutkan dahi.

"Humm. Pacaran setelah menikah kan halal. Dalam bahasaku kencan, dalam bahasa kamu ngedate. Ngedate yuk?" Ucap Hafidz lagi.

Nanaz melihat wajah suaminya yang tak pernah lepas dari senyuman. Nihil. Nanaz tak bisa menangkap apapun dari siratan mata dan raut wajah tampan suaminya itu. Alhasil, Nanaz hanya menuruti keinginan sang suami. Mereka akan ngedate. Untuk yang pertama kalinya.

***

"Apa karena Noura?"

Nanaz menggeleng, walau sebenarnya mungkin itu salah satu yang memecut keinginannya.

"Boleh aku tahu alasannya?" Tanya Hafidz lagi selembut mungkin. Dia tak mau istrinya menangis, karena sekarang pun si Pendekar Cengeng telah murung dengan menundukkan wajah dan memainkan sedotan di kelapa muda yang mereka pesan.

"Nanaz ingin mendalami penyakit yang dialami Bunda. Mungkin nanti Nanaz bisa jadi dokter yang hebat dan menyembuhkan penyakit yang sama. Jadi Nanaz bisa mengurangi sedikit penyesalan Nanaz karena tidak pernah ada saat Bunda berjuang melawan penyakitnya." Ungkap Nanaz tanpa berani menatap suaminya.

"Hanya itu?" Pancing Hafidz yang masih sibuk mencari manik istrinya, sedang yang dipandang terus saja menundukkan kepalanya.

"Nanaz mau jadi istri yang bisa ustadz banggain." Tambahnya sambil menggigiti bibirnya, menahan air matanya.

"Alya.... berapa kali aku bilang..."

"Ustadz nggak ngerti rasanya jadi aku." Sela Nanaz sebelum Hafidz menyelesaikan kata-katanya.

Hafidz tersentak. Baiklah. Sepertinya dia akan membiarkan Nanaz meledakkan dulu emosinya agar perawannya itu bisa merasa lega.

"Ustadz tampan, mapan, sholeh, siapa sih yang tidak menginginkan suami seperti ustadz? Nissa bilang aku nggak pantes buat ustadz, dan dia benar. Dan saat melihat mbak Noura, dibandingkan aku, aku nggak ada apa-apanya. Aku cuma anak manja yang suka ngambek. Aku... aku mau saat ustadz mengenalkanku pada rekan ustadz, ustadz bisa bangga sama aku. "Wah, hebat kau Fidz, istrimu sudah cantik, sholeh, seorang dokter lagi.". Aku tahu ustadz mau bilang apa. Itu nggak penting. Jangan bandingin aku sama yang lain, tapi aku mau merasa pantas bersanding dengan ustadz. Paling tidak aku harus punya satu gelar."

Hafidz memegang jemari istrinya yang kini sudah terpasang cincin pernikahan mereka terang-terangan. Tidak seperti dulu yang harus Nanaz pakai sebagai liontin.

"Apa kamu siap menjalani dua peranmu sekaligus? Karena aku nggak mau kehilangan istriku karena dia sibuk dengan obsesinya untuk membuat dirinya pantas bersanding denganku sedang bagiku tak ada cela sedikitpun pada dirinya. Alasan seperti itu saja aku sebenarnya tidak suka. Tapi aku nggak mau kamu tertekan dengan kehidupan rumah tangga kita, karena walau bagaimanapun, kamu punya hak untuk bahagia dan aku pun ingin bahagia bersamamu."

"Baiklah. Lupakan saja. Toh, itu hanya sebuah mimpi. Kalau bagi ustadz aku nggak cukup siap melakukannya, itu pasti benar. Abi pun belum tentu setuju. Lupakan saja." Ucap Nanaz sambil menoleh ke arah lain dan melepaskan genggaman tangan hangat suaminya. Berharap air matanya akan berhenti dengan sendirinya.

"Hey, masa dating pertama kita kamu ngambek. Emang aku bilang apa? Apa ada aku bilang kamu nggak boleh jadi dokter? Hmm??"

Tangan Nanaz sudah kembali ke genggaman suaminya. Suasana warung pinggir waduk yang tenang dengan angin sore yang sejuk menambah keromantisan mereka.

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang