Chapter 37 ( End )

1.3K 54 4
                                    

"Baiklah, sekarang peserta terakhir tingkat ibtidaiyah sesi pembacaan puisi. Ananda Aqil Farras Hakim."

Dengan senyum menawan seorang bocah berusia enam setengah tahun naik ke atas panggung dan mengambil gulungan kertas dari dalam toples kaca yang disediakan.

Bocah itu masih tersenyum. Sejauh ini bocah itu mendapat nilai yang bagus untuk kategori, tahfidz, khutbah, nasyid, dan sekarang tinggal puisi untuk melengkapi nilainya agar menjadi juara SANTRI TALENT pertamanya ini.

Tapi, senyum itu lenyap ketika dia membaca isi gulungan kecil itu. MC mengambil kertas itu dan mempersilahkan bocah kecil itu memulai puisinya.

Sayang sekali, ini adalah tahun pertamanya ikut lomba, karena sebelumnya dia hanya tinggal bersama Nini dan Kakeknya, barulah tahun ini usianya cukup untuk masuk pondok. Sayangnya juga, belum banyak yang tahu, jika bocah kecil itu kehilangan ayahnya, bahkan ketika ia masih berupa gumpalan usia 2 bulan dalam kandungan ibunya, dan lebih disayangkan lagi, juri-juri juga berasal dari luar pondok. Juri undangan untuk menghindari keberpihakan. Dan ketika dia mendapat tema AYAH, maka itu adalah soalan yang berat bagi bocah kecil itu.

Hasna yang khawatir karena bocah kecil itu mulai menangis menghampiri ponakannya, dan terkejutlah ia dengan pemberitahuan dari panitia, jika bocah kecil itu mendapat tema puisi AYAH. Tema yang tak pernah dikuasainya.

Dipeluk dan diciumnya sang ponakan dengan sayang. "Tidak apa, sayang. Kamu tidak perlu melakukannya." Bujuk Hasna yang iba pada ponakan yang sudah seperti anaknya sendiri itu, tak lama Vian pun naik, tapi si Bocah tetap tak bergeming.

"Ini hanya lomba sayang, tidak usah memaksakan dirimu. Ayo, kita jalan-jalan saja bagaimana?" Bujuk Vian lembut.

Si Bocah masih tak bergeming. "Kalau Aqil turun, Aqil akan kalah. Aqil mau menang demi Ummah."

"Tidak apa, Nak. Tidak usah memaksakan diri." Jawab salah satu juri setelah mengetahui keadaan Aqil yang yang sebenarnya. Bukan hanya juri, tapi hadirin yang menonton pun mulai terbawa haru.

"Ana bisa, Ustadz. Ana akan mulai sekarang." Ucapnya setelah mengusap air mata.

"Aqil bisa, Uwa. Bismillah."

Dengan ragu, Hasna dan Vian turun dari panggung, meninggalkan keponakannya yang tahu jika ayahnya sudah pulang, tapi entah kenapa, sang ponakan sepertinya anti pada ayahnya yang ia tinggalkan masih tertidur karena demam.

Aqil menarik nafas dalam dan menggumamkan bismillah.

***

Ayah

Tenggorokan Aqil tercekat. Dia tak yakin dia bisa, tapi dia akan tetap berusaha. Bismillah.

Ayah

Apa yang bisa kukatakan tentang ayah?

Dia yang tiada ketika aku bahkan belum bernyawa

Belum berruh secara nyata

.

Ayah

Aku mengenalnya dari wajah di atas meja

Di sudut meja lampu di rumahku

Yang kini berpindah ke atas meja lampu di pondokku

Pondok peninggalannya

Satu-satunya warisan darinya yang aku inginkan

.

Ayah

Apa yang bisa kuceritakan tentang ayah

Dia... tak pernah ada

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang