Chapter 11

663 56 1
                                    

Ctak....

Ctak....

Pecut rotan untuk yang ke dua puluh lima kalinya mengenai rok seragam abu-abu Nanaz. Air mata karena nyeri yang ditahannya sudah lolos satu dua bulir. Tangannya mengepal, dan bibirnya hampir berdarah karena ia gigiti. Semata-mata mempertahankan kedegilannya karena tidak mengatakan ikhwan yang bersurat-suratan dengannya.

Ini bukan demi melindungi pria yang selalu menjadi biang masalah bagi Nanaz, sekali-kali bukan demi dia, tapi demi nama baik Abi dan Ummi yang sudah memperlakukannya bagaikan putri kandung mereka sendiri, bahkan ketika keluarganya bahkan batal dua kali menengoknya selama dua bulanan ini.

"Innalillaah, Alya. Sebegitu cintanya kah kau dengan ikhwan itu sampai kau rela dipecut seperti ini? Kamu tahu jelas peraturan itu kami buat demi kebaikan kalian. Kalau memang kalian ingin melanjutkan, kami akan menyuruh Kyai menghalalkan kalian, tapi kami butuh tahu siapa ikhwan yang mengirim surat ini. Bicaralah!"

"Hukum saja saya, ustadzah. Saya tidak masalah. 25 lagi, kan? Lanjutkanlah ustadzah, biar saya tidak menyita waktu ustadzah lebih lama lagi." Rintih Nanaz menahan perih yang teramat sangat.

Dua ustadzah lain yang berada di ruang ketertiban itu menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya Nanaz lebih memilih dipecut dari pada menyerahkan nama ikhwan yang sudah berani mengirim surat padanya.

Ustadzah yang sebenarnya tak tega itu meneruskan pecutannya. Walau bagaimana pun ini adalah shock therapy bagi yang lain agar tidak ada yang berani melanggar pasal hubungan harom di Darus Salam, hubungan yang tak dibenarkan Sya'riat agama.

Dan setelah pecutan ke 50, 2 orang ustadzah pun mengantar Nanaz kembali ke kamarnya. Menyuruh santri sekamarnya juga kembali demi mengobati santriwati degil yang sekamar dengan mereka itu.

***

"Ya Allah, Naz. Lukanya parah. Pasti perih ya?" Tanya Fatimah yang tidak tega ketika melihat betis Nanaz yang sudah penuh warna merah kehitaman dan lecet di beberapa bagian betis kurus itu.

Nanaz tak mampu berkata apa-apa. Dia hanya menangis dan menangis. Kenapa juga dia harus menanggung akibat dari kelakuan Hafidz Si Penipu itu? Dan kenapa dia begitu bodoh? Harusnya dia tidak pernah mengambil surat itu, dan bodohnya lagi, dia justru menyimpannya.

"Aku akan ambilkan salep di ruang kesehatan. Kamu mau aku ambilkan makan siangmu sekalian, Naz?" Tanya Maisyaroh yang sama tak teganya dengan Fatimah, begitupun dengan Nur Aini yang setia mengipasi betis Nanaz yang terluka.

"Sebenarnya, siapa ikhwan itu, Naz? Kenapa kamu sampai rela dipecut hanya demi ikhwan itu?" Tanya Nur Aini yang tentunya tak mendapat jawaban dari Nanaz. Gadis itu hanya terus menangis menahan perih dan menangisi kebodohannya.

*

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumus salam warahmatullaah." Jawab Maisyaroh dan Nur Aini serempak.

"MasyaAllah, Ummi." Maisyaroh langsung menoel Nur Aini agar sama-sama mencium tangan orang nomor satu selain Kyai Mustafa, Kyai yang bisa dibilang muda, pimpinan Darus Salam.

"Tolong bantu Nanaz ke kursi roda, Ummi akan membawanya ke rumah." Perintah Ummi datar.

"Baik, Ummi." Ucap mereka lalu sigap membantu Nanaz yang berusaha menghentikan tangisnya. Gadis itu tidak ingin membuat Ummi khawatir padanya.

Ummi memang mendengar ada santriwati yang masuk ruang ketertiban, tapi dia tak menyangka jika santri yang dimaksud adalah Nanaz. Ummi sebenarnya kecewa karena mendengar Nanaz mendapat dan menyimpan surat dari ikhwan lain, sedang dia tahu Nanaz adalah calon putranya. Melihat bagaimana Nanaz melindungi si Pria, Ummi takut Nanaz akan menolak perjodohannya yang akan segera dilakukan dalam waktu dekat.

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang