Chapter 21

753 50 0
                                        

"Bagaimana keadaannya, teh?" Tanya Hafidz yang baru pulang dari masjid. Seperti biasa dia sholat berjama'ah di masjid, begitupun ayahnya untuk kali ini.

"Seperti yang diperkirakan pak mantri, adek demam. Jadi kita harus awasin demamnya. Asal demamnya turun, insya Allah adek nggak perlu dibawa ke rumah sakit besok." Jawab Hasna yang sudah diberitahu perihal keadaan Nanaz. Korosi Nanaz tidak parah, tapi bisa memungkinkan terjadi infeksi atau kerusakan saraf. Jika hal itu terjadi, dia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut.

"Syukran udah jagain istri Hafidz, teh. Teteh makan malam gih, Abi dan Ummi udah nunggu di ruang makan." Ucap Hafidz yang lalu dibalas dengan senyuman manis kakaknya. Dia sendiri tidak ikut makan karena hari ini Hafidz berpuasa, dia sudah makan nasi saat buka puasa tadi.

Hasna senang melihat Hafidz sangat peduli pada istrinya. Iri menggelitik Hasna, apakah dia juga bisa memiliki suami seperti adiknya yang begitu menyayangi istrinya? Ah, entah kenapa Hasna merasa begitu pesimis, apalagi mengingat keadaannya sekarang.

"Itu di termos ummi udah siapin makanan dan minuman anget buat adek takut-takut dia terbangun dan merasa laper lagi. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil teteh nyak?"

"Nuhun teh."

Hasna pun keluar meninggalkan Hafidz dan adik iparnya. Hafidz membuka baju kurung dan sarungnya lalu menggantungnya di hanger yang terdapat di pintunya. Di dekati sang istri yang terlihat agak pucat karena demam.

"Engh." Hafidz yang sudah menempati diri di sebelah istrinya dengan sigap merespon sang istri.

"Kenapa? Perih lagi?" Tanya Hafidz yang merasa bersalah. Istrinya harus menanggung kecemburuan perempuan lain karena perasaan perempuan itu padanya.

"Aus." Cicitnya.

Hafidz pun mengambilkan air untuk istrinya dan membantunya untuk minum. Setelah itu, Hafidz kembali ke posisinya. Ke sebelah istrinya.

"Maaf karena Nanaz selalu merepotkan ustadz." Lirihnya yang sepertinya enggan tertidur lagi.

"Ngaco. Kamu itu sedang sakit, wajar kalau suami mengurus istrinya yang sakit." Hafidz mengelus pipi istrinya yang terasa hangat, dia melarikan tangannya ke leher Nanaz, demamnya tidak terlalu tinggi dan semoga tetap begitu sampai besok pagi.

"Boleh aku tahu kenapa kamu begitu ceroboh sampai tanganmu terkena cairan kimia seperti ini?" Tanya Hafidz masih menelisik wajah bidadari istrinya. Bulu mata lentik Nanaz dan hidung mungilnya adalah bagian yang paling Hafidz suka.

"Gak sengaja kesenggol." Jawabnya sambil menunduk.

Hafidz tersenyum dan menghadiahi kecupan lembut di dahi Nanaz, membuat Nanaz memejamkan matanya, meresapi kelembutan itu.

"Lain kali lebih hati-hati, ya." Tambah Hafidz yang bangga terhadap Nanaz. Di saat Nissa ingin mencelakainya, Nanaz masih tetap saja melindungi teman sekelasnya itu.

"Ustadz.." panggil Nanaz dengan rona delimanya.

"Hmm.." gumam Hafidz yang masih asik dengan pipi kemerahan yang tengah dibelainya.

"Insya Allah Nanaz siap menafkahi batin ustadz " Ucapnya tak berani menatap mata suaminya.

Hafidz tersenyum dan membawa Nanaz ke dalam pelukannya. Entah apa alasan Nanaz yang mendadak mengatakan hal itu, tapi dia begitu bahagia saat mendengarnya.

"Makasih ya. Tapi aku akan sabar sampai kamu selesai ujian. Tinggal setahunan lagi, insyaAllah aku bisa jaga kamu sampai kamu benar-benar siap."

"Ustadz nggak mau.."

Hafidz yang geli mendongakkan kepala istrinya yang tak berpenutup kepala itu dan menghadiahi kecupan di kelopak mawar Nanaz. Inilah sisi Nanaz yang paling Hafidz suka. Kepolosannya.

SURGA DI TAMAN HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang