5. Sisi Lain

310 59 59
                                    

Hm ... sepertinya ... dia tidak tahu. Mungkin, saya hanya terlalu sensitif. Vanya tersenyum semangat, lalu menoleh ke arah Bu Ren. Sedangkan Vernon mengernyit melihatnya yang menatap aneh seperti tadi. Tidak seperti biasanya.

"Saya mau jadi polwan, Bu!"

Hening.

Jery yang duduk di depan Vanya menoleh. "Bukannya kamu gak suka olahraga fisik? Lari aja gak kuat, sering ngilang di jam olahraga."

Semua orang mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan oleh Jery.

Sementara itu, Vanya menyengir mendengar pernyataan temannya tersebut. "Saya itu bukannya gak kuat olahraga fisik, tapi kasihan, nanti saya kehilangan lemak-lemak di badan saya," lirih Vanya sedih sambil melihat ke arah teman-temannya.

"Alesan e lu, Saodah!" celetuk salah satu siswa.

"Ngegas ae lu, Beban kehidupan!" balas Vanya.

"Sudah, kembali fokus," lerai Bu Ren sebelum baku bacot terjadi. "Vanya, kamu sepertinya mood-mood-an, ya?" terkanya.

Vanya tertawa kecil. "Iya, Bu. Apalagi Bang Jono gak pulang-pulang. Pamitnya pergi cari uang, tapi kini malah menghilang. Eee ... Bang Jono ternyata cuma keluyuran. Sana sini cari hiburan, lupa rumah lupa kerjaan," ungkapnya bernada.

Jodi langsung berdiri dan menghadap ke arah Vanya sambil memutar-mutar jaketnya. "Kau bilang padaku, baik-baik Sayang ... abang pasti cepat pulang. Kau janjikan aku ... sebongkah berlian, sesuap nasi pun jarang ...."

Siswa lain menikmati, sambil bersorak, "Ea!!!" Naluri penonton bayaran mereka keluar. Hanya Vernon yang berekspresi datar, tetapi diam-diam senyuman kecil terukir di wajahnya.

Vanya mengangkat kedua jempolnya. "Aseeek .... Dulu kau janji bawa berlian untukku. Sehari makan—"

"Hentikan semua ini!" tegas Bu Ren.

Sontak suasana menjadi tegang. Vanya menurunkan tangan, dan duduk pelan-pelan. Jodi juga melakukan hal yang sama. Siswa lain pun mulai fokus menghadap Bu Ren.

"Sehari makan sekali pun tak tentu! Kau bilang inilah ... kau bilang itulah! Bosan dengan alasanmu ...." Bu Ren bernyanyi dengan centil. "Bagus, 'kan, suara ibu?" tanyanya semangat.

Hening.

Aya mengangkat tangan, membuat Bu Ren memandangnya penuh harap sambil tersenyum lebar. "Ya, Aya?"

"Nanyain cita-cita dimulai dari kiri depan Ibu aja lagi, Bu. Kan deret ini udah semua," usul Aya.

Bu Ren mengulum senyuman yang tadi mengembang. "Ya, usul bagus!" serunya garing. "Silakan saja."

Seluruh siswa sedang tertawa di dalam hati. Sebenarnya, suara Bu Ren sangat merdu, tetapi iseng saja mengerjai seperti ini.

Vanya pun menyikut lengan Aya, sambil menggigit bibir untuk menahan tawa. Lain halnya dengan gadis itu yang sudah menutup mulut karena tidak tahan ingin tertawa lepas.

***

Bu Ren sudah keluar dari kelas. Tadi sebelum keluar, Aya meminta maaf yang diikuti oleh teman-teman kelasnya yang lain—mereka melakukan itu karena tidak mau dicap sebagai siswa terdurhaka di muka bumi. Perihal mengerjai Bu Ren, dan memuji jika suara guru bahasanya itu sebenarnya sangatlah merdu.

Sekarang, jam olahraga. Semua siswa keluar kelas, kecuali Apenjer—Zanu, Vernon, Aya, Vanya, dan Leon. Seketika mereka semua sudah berkumpul, duduk mengelilingi meja Vernon dan Zanu.

"Jadi, ada apa? Narkoba gimana? Masa iya?" tanya Leon penasaran.

Vanya menatap Leon lekat. "Makanya, kita dengerin dulu Vernon, ya, Panu Singa ...," katanya lembut, tetapi menusuk.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang