"Oh, iya. Ailee!"
Vernon tersenyum miris. "Kalau pun bertemu, dia takkan bisa mengenaliku, Bu."
Ibu menatap teliti anaknya dari ujung rambut sampai kaki. Ia mengangguk setuju kemudian. "Iya, sih. Kamu lebih gagah sekarang."
Vernon berdiri, beranjak pergi sambil tetap membawa permen kapasnya. "Aku ke kamar dulu, Bu." Ia berjalan lemah menuju tangga ke lantai atas. Saat berdiri di anak tangga pertama, terdengar suara samar-samar perdebatan kecil di dapur. Ia putuskan untuk menguping.
"Vero, ayah takut kamu juga ikut terseret dalam masalah ini." Ayahnya yang selalu terlihat berwibawa dan humoris, kini terlihat lemah dan sedih.
"Yah, kita tidak bersalah! Apa yang harus ditakutkan?"
"Juand itu licik, Nak. Di Kapolda, ada rekannya. Di tempatmu, Kapolres, pasti banyak. Kita dikepung. Kalau kita tidak cepat, dia yang akan melumpuhkan kita."
Vernon tertunduk. Pikirannya berkecamuk. Kemudian, ia melangkah terburu-buru menuju kamarnya. Sesampainya di dalam kamar, ia duduk di kursi dan menaruh permen kapas di atas meja. Ia mengambil spidol hitam di dalam laci, lalu melukis dua buah mata, satu hidung, dan sebuah bibir melengkung ke atas di plastik permen kapas tersebut. Ia jadi tertawa kecil melihatnya.
"Ngapain ketawa-ketawa sendiri?"
Vernon terperanjat kaget. Ia menoleh, tampak abangnya sedang berdiri lelah sambil memeluk guling.
"Eh, bukannya Abang tadi ...?"
Vero berjalan malas dan mengempaskan tubuhnya di ranjang Vernon. "Numpang tidur. Pusing. Lelah. Gundah. Merana."
"Ada masalah apa, Bang?" tanyanya ketika melihat abangnya yang terkapar tak bergairah.
"Biasa Juand." Ia menunjuk Vernon. "Kamu nyuri berkas-berkas Juand, yang mana aja?"
"Kan aku udah kembaliin, Bang!" serunya cepat.
Vero memeluk gulingnya erat. Ia berkata malas, "Iya juga, sih. Masa kepolisian cuma punya data dikit banget. Pasti antek-anteknya di kepolisian yang berusaha ngilangin bukti-bukti." Ia terduduk cepat kemudian. "Kamu tahu, gak? Biasanya kami nangkep pengedar narkoba satu orang dalam sebulan. Sekarang? Tiga orang dalam sehari. Belum lagi pelaku kejahatan lain."
Vernon mendekat, duduk di atas ranjang. "Seburuk itu, Bang?"
"Ya, iyalah! Abang bahkan berencana minta usut rekan-rekan kerja abang ke Kapolri. Eh, ingat, jangankan Kapolri, di kementerian aja ada rekannya Juand."
"Karena Juand juga makelar kasus?" tebak Vernon.
"Tepat! Kamu pikir siapa yang udah berani menyuap ketua Mahkamah Konstitusi?" Vero kembali mengempaskan tubuhnya kasar ke kasur. "Situasinya benar-benar gila! Bisa-bisa abang dan ayah yang masuk penjara!"
Vernon menatap abangnya sendu. Maafkan aku ....
***
Vanya mengernyit, ada perasaan takut yang teramat parah bercampur heran. Saat ini, ia melihat dirinya sendiri, di depan sana. Lengkap dengan pakaian serba hitamnya, tetapi tanpa topeng. Ia memegang pistol dan mengarahkannya ke sahabat-sahabatnya—Leon, Vernon, Zanu, dan Aya.
Ah, ini hanya mimpi. Ya, ia sadar bahwa ia sedang menyaksikan mimpinya sendiri. Namun, perasaan khawatir itu tetap ada.
"Pergi dari sana!" teriaknya. Tidak ada yang mendengar. Semua adegan masih terus berlanjut. Sahabat-sahabatnya justru tak takut, tetapi melemparkan senyuman tulus. Ia yang memegang pistol pun menembaki mereka dengan membabi buta. Suara ledakan menggema hebat. Darah menciprat, bahkan mengenai wajahnya. Sahabat-sahabatnya tumbang di tempat, bermandikan darah. Ia tertawa angkuh. Lalu lebih mendekat, menatap kosong jenazah sahabat-sahabatnya. Seperti belum puas, ia kembali menembaki tanpa ampun jenazah-jenazah itu sambil tersenyum. "Maaf!"
KAMU SEDANG MEMBACA
INDICATOR OF LOVE (✔)
Teen Fiction[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Bayangkan jika saat ini kamu memiliki geng persahabatan yang terdiri dari dua cewek dan tiga cowok. Kalian sudah seperti keluarga dan selalu bersemangat untuk memecahkan kasus-kasus yang terjadi. N...