29. MINGGU

149 26 59
                                    

Assalamu'alaikum ....

Seberapa berharganya sebuah persahabatan? Entahlah, yang jelas aku mau berkorban besar untuk itu.

****

"Bismillah aja, ya. Semoga usaha kita lancar."

Vanya tersenyum semangat ke arah Rian yang berdiri di sebelahnya. Pria itu tidak kalah semangat, senyumannya semringah dengan wajah berseri. Mereka pun sama-sama berbinar menatap toko yang lumayan besar, dengan orang-orang yang sibuk berlalu-lalang memasukkan barang-barang baru. Di sana, ada pula Fitri—istri Rian— sibuk mengatur pemasukan barang-barang.

"Jangan terlalu bekerja keras, Fit!" seru Vanya, mengingat temannya itu sedang hamil muda.

Fitri tersenyum, menghampiri Vanya dan suaminya. "Terima kasih banyak, ya, Van, sudah memercayai kami."

Vanya tertawa kecil membalasnya. "Santai aja, udah rezekinya si kecil."

"Padahal kamu bisa urus sendiri, tetapi tetap mau ajak Rian." Senyumannya mengembang, ia terharu sekaligus bahagia. Akhirnya ada jalan untuk mereka.

"Ogah, ah, Fit. Kamu sama Rian aja yang urus, saya banyak pekerjaan penting."

Rian tersenyum. "Iya, ya, kamu harus fokus sekolah."

"Apaan, sih, sekolah mah gitu-gitu aja. Oya! Saya harus segera ke sekolah, ada latihan upacara." Vanya melirik jam di tangan yang menunjukkan pukul sembilan. Setengah jam lagi, semua warga XI IPA I akan latihan upacara.

"Hati-hati, Van!"

Rian dan Fitri melambai ke arah Vanya yang mulai mengayuh sepeda. Mereka pun melanjutkan pekerjaan kembali.

Vanya keluar dari Simpang Yarsi—persimpangan tiga yang besar, kiri-kanannya diisi toko-toko, tempat makan, swalayan, bahkan SPBU—, membawa sepedanya berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya yang lurus. Ia mengayuh santai, lagian jarak sekolahnya tidak jauh dari sini.

Di persimpangan lain di seberang jalan yang lebih kecil dan tidak terlalu sesak, ia melihat Leon seperti sedang menawarkan sesuatu kepada ibu-ibu yang tampak sedang menunggu angkot.

Persimpangan ini tampak lebih damai, dengan fasilitas bangku-bangku di terotoar. Di sisi kiri-kanannya pun hanya rumah-rumah dan kantor. Beberapa juga ada tempat makan.

Leon berdiri di simpang tersebut, dekat ATM, di luar perkarangan sebuah gedung pemerintahan. Ia berusaha menawarkan roti kepada ibu-ibu yang bahkan tak menggubrisnya.

"Roti cokelat enak, dan rendah kalori. Wah, ibu-ibu kece yang langsing seperti Ibu ini, pasti memedulikan dengan baik makanannya." Vanya tiba-tiba hadir, dan langsung mencerocos begitu saja. Ia berdiri di antara ibu itu dan Leon, sambil mengambil sepotong roti di dalam kotak yang disodorkan Leon. "Badan Ibu bagus sekali, dan kulitnya juga awet muda. Ibu pasti makan makanan bergizi dan rendah lemak, 'kan?"

Ibu-ibu dengan riasan menor itu menoleh, sepertinya ia tertarik dengan perkataan Vanya. "Tidak juga. Saya makan nasi biasa, tidak ada perawatan juga."

Dengan ekspresi meyakinkan, Vanya berucap, "Ah, saya tidak percaya. Ngomong-ngomong, ibu mau berangkat kerja?"

"Iya," jawab ibu itu seadanya.

"Pas sekali, Bu! Bayangkan, jika Ibu bisa memiliki hari yang sempurna, di tempat kerja," ungkap Vanya semangat.

Ibu itu mengernyit.

"Maksudnya begini, Bu, bayangkan betapa berterimakasihnya teman-teman Ibu jika Ibu membagi-bagikan roti ini untuk mereka. Siapa tahu mereka belum sempat sarapan, 'kan?" tanyanya yakin. "Dan jikalau sudah sarapan, siapa sih, Bu, yang tidak senang diberi hadiah dan diperhatikan? Wah, Ibu akan semakin menjadi pusat perhatian."

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang