47. HARI KEMATIAN

128 25 25
                                    


Langkah Vanya yang hendak berangkat ke sekolah terhenti sejenak karena membaca sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Inti dari pesan itu adalah menyuruhnya untuk segera pergi ke belakang rumah. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memutar arah dan bergegas ke belakang.

Di sana, ia melihat Juand, Baim, dan seseorang yang memunggunginya. Sudah pasti itu X. Ia sangat hafal sosok itu. Perasaannya pun mulai tak enak. Ah, sudah pasti. Pasti.

"Ailee Zevannya. Ayah benar-benar kecewa padamu."

Kata-kata itulah yang langsung didengar olehnya ketika baru berhenti di hadapan ayahnya. "Apa Ailee membuat kesalahan, Ayah?"

Juand menjaga ekspresinya untuk tetap datar. Ia sebenarnya sangat ingin marah. "Ayah tahu kamu dan sahabat-sahabatmu itu berusaha memecahkan kasus narkoba di SMA Pascal, padahal, kamu sendiri yang memimpin penyebaran narkoba di sana, apa-apaan itu?"

"Tetapi ayah—"

"Dan kamu sudah membunuh mata-mata yang ayah suruh untuk mengawasimu!"

Vanya terdiam. Ia teringat bahwa belatinya telah menancap di dada mata-mata itu ketika ia dan Vernon di gedung tua kemarin. "Lagian Ayah, dia mengarahkan pistolnya ke arah sahabat—"

"Ayah yang menyuruhnya untuk membunuhnya!"

Vanya kaget, sampai-sampai matanya melotot. "Apa salahnya!?"

"Bukan kesalahannya, tapi kesalahan kalian berdua. Jangan pikir ayah tidak tahu kalau kalian saling menyukai."

"Ya, karena kami sahabat, Yah."

"Baiklah, tetapi dia tahu segalanya. Dari kejadian kemarin sudah jelas, bahkan dia tahu markas kecil kita. Sepertinya, dia benar-benar mengetahui segalanya." Juand merogoh pistol di saku celana, lalu menggeser slide pistol sehingga peluru sudah terisi dan siap ditembakkan. "Jangan-jangan, kamu bekerja sama dengannya untuk menjerumuskan ayah." Ia mengarahkan pistol ke kepala Vanya.

"Tidak, Ayah! Dia mengetahui semuanya sendiri. Ailee tidak—"

"Omong kosong. Sudah pasti Ailee berniat melawan Tuan Juand lagi. Karena sebelumnya selalu gagal, kali ini dia bekerja sama dengan orang lain," komentar Baim.

Vanya menatap Baim tajam. Kemudian, ia menatap Juand yakin. "Ailee tidak bekerja sama dengannya, Ayah! Sungguh!"

Arah pistol Juand bergeser ke samping kepala Vanya. Hal itu membuat orang-orang mengernyit termasuk gadis itu.

Vanya pun mengikuti lurus arah pistol tersebut, tetapi tidak ada orang di sampingnya. Siapa yang ingin ditembak Juand? Ia pun menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat Leon berdiri tak jauh di belakangnya dengan ekspresi datar. Ia segera menahan pistol Juand dengan telapak tangan. "Ayah, Ailee akan bereskan ini. Ailee mohon, jangan," pintanya mengiba.

Juand menyimpan pistol dan berlalu pergi diikuti Baim dan X. Mereka menuju ke ruang rahasia di ujung halaman belakang rumah. Sementara itu, Leon masih mematung dengan tatapan penuh kekecewaan. Vanya segera berlari menghampirinya. Namun, Leon mundur ke belakang, tak ingin dekat-dekat dengannya.

"Saya rasa Anda sudah tahu banyak," ungkap Vanya pelan.

Leon hanya terdiam, mulutnya seperti terkunci. Ia pun memberikan plastik hitam yang sedari tadi dipegangnya kepada Vanya, lalu bergegas pergi. Vanya membuka plastik itu, tampak roti cokelat-keju kesukaannya.

"Argh!" teriaknya frustrasi. "Kenapa harus Leon ...." Ia benar-benar khawatir sampai-sampai matanya berkaca-kaca. "Bagaimana saya bisa menyelamatkannya?"

***

Leon melangkah cepat menuju sekolah. Ia tidak memedulikan sekitar, pikirannya kacau. Tujuannya sekarang hanya ingin duduk di dalam kelas. Bahkan, beberapa kali ia menabrak orang di jalan dan mengabaikan orang-orang yang menyapa. Ia pun memasuki kelas. Kosong. Mengapa rasanya aneh sekali? Hanya tampak tas-tas di atas meja. Karena sangat gusar, ia tidak memedulikan dan langsung duduk di kursinya. Ia tercenung. "Aku pikir hanya Zanu, ternyata ...." Leon mengusap wajah kasar. Matanya berkaca-kaca. Ia mengambil sebuah buku dari dalam tas, dan menulis sesuatu di sana.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang