27. Baik-Baik Saja?

160 28 80
                                    


Vanya dan Vernon keluar dari rumah hantu, di sana sudah menunggu ketiga sahabat mereka. Vernon langsung terduduk sambil memeluk lututnya yang bergetar. Melihat itu, Vanya berlutut di hadapannya, kemudian mengusap pelan kepala pria itu. Merasakan rambut hitamnya yang lembut. "Sudah berlalu," ucapnya lembut.

Leon dan Zanu menepuk jidat serentak. "Baru inget kalau Vernon takut parah sama hantu. Untung gak pingsan."

"Fobia?" tanya Aya khawatir.

Zanu menjawab, "Iya. Ada kisah masa kecil yang buruk gitu."

Aya pun membulatkan bibir, menatap sahabatnya khawatir.

Vernon mendongak, menatap wajah gadis di depannya. "Terima kasih."

"Saya gak tahu kalau Anda fobia, maaf," ungkap Vanya. Soalnya tadi niat banget ninggalin Anda di sana, untung gak jadi.

Ia mengernyit. "Kok minta maaf?"

"Ehm ... itu ... tadi saya yang ngajak semuanya untuk masuk rumah hantu," kilahnya. "Lagian, Anda kenapa terima-terima aja?"

"Karena kamu mau masuk rumah hantu," jawabnya lembut.

Vanya terdiam. Ia merasa terintimidasi dengan tatapan Vernon yang menyorot wajahnya. Ia pun segera pergi, menjauh. Membuat sahabat-sahabatnya itu heran. Namun, beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa seplastik permen kapas berwarna merah muda.

"Coba makan, deh." Ia menyodorkan permen kapas itu kepada Vernon yang sudah berdiri di hadapannya. "Saya kalau lagi merasa buruk, suka makan ini."

Vernon menatap permen kapas dan wajah Vanya secara bergantian.

"Hm, Van," panggil Aya. "Kayaknya Anda lupa, kalau Vernon gak suka yang manis-manis."

"Ah, bohong itu!" bantah Vanya.

"Gak bohong," jawab Vernon dingin.

"Anda itu suka yang manis-manis!" seru Vanya. Membuat sahabat-sahabatnya mengernyit. "Buktinya, Anda suka sama saya yang manis," ungkapnya sambil tersenyum lebar.

Vernon memutar bola mata malas. Ia merampas permen kapas di tangan gadis itu lalu segera beranjak pergi—meninggalkan Vanya yang tertawa ringan, dengan sahabat-sahabatnya yang menggeleng maklum.

"Oi! Tunggu!" Vanya segera berlari menyusul langkah pria itu.

Aya tertawa kecil melihat mereka. "Vanya sama Vernon cocok banget, ya? Yang satu heboh kayak tabung gas meledak, yang satu lagi dingin, kayak es batu lima ratusan."

Leon dan Zanu mengangguk setuju. Mereka tertawa kecil. "Oya, kalau kamu cocoknya sama siapa?" tanya Zanu menggoda.

Aya tampak berpikir sejenak. "Hm, sama ... Tian?"

***

Hari semakin malam, tetapi pasar malam ini justru akan baru semakin ramai. Mungkin karena cuacanya yang sudah tak gerimis lagi. Mereka pun tertawa saat duduk di bangku-bangku kecil tempat mewarnai, bersama para bocah lima tahun. Gambar-gambar yang diwarnai dengan cat air ini pun cenderung sederhana. Namun, sudah sangat sulit bagi Vanya. Ia tidak ahli dalam mewarnai, menggambar, dan membuat keterampilan tangan. Ya, tidak ada manusia yang sempurna.

"Kamu bahkan lebih buruk dari bocah lima tahun, Ai," jujur Vernon yang duduk di samping anak kecil di sebelah kanan Vanya. Karena duduk di posisi seperti ini, ia menjadi mudah membandingkan hasil mewarnai gadis itu dengan anak kecil di sampingnya.

Anak kecil yang duduk di antara mereka, menjadi tertawa melihat gambar Vanya—tupai yang dicat warna hitam pekat hingga ke baju-bajunya.

"Biarin, hemat cat kali, Non," bela Vanya.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang