44. Masa Kecil (1)

107 21 17
                                    

Vanya berusaha mengatur napas ketika kaki kecilnya sudah tidak sanggup lagi untuk berlari. Ia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Sekumpulan warga yang mencercanya sudah tak terlihat lagi. Ia pun menatap sedih termos es kecil di tangan yang berisikan es mambo. Satu pun dagangannya belum ada yang laku. Ia hanya diusir dan dihina karena orang tuanya yang tidak disukai oleh masyarakat. Ya, ia paham itu. Jikalau tetangganya—Pak Jaya dan keluarga— tidak pergi ke luar kota seharian, tentu ia takkan memohon-mohon ke kampung sebelah untuk mendapatkan pekerjaan ini. Pasalnya, ia makan dari sisa makanan keluarga itu, dan selalu seperti itu.

Hari sudah beranjak sore, selain kelaparan Vanya juga sangat lelah. Ia pun memutuskan untuk beristirahat di depan pagar sebuah rumah minimalis yang terlihat masih baru. Ia duduk selonjoran sambil mengelap wajah yang penuh keringat dengan baju.

Pagar rumah itu pun terbuka sedikit, menghasilkan bunyi berdecit. Vanya refleks mengalihkan pandangan ke sana. Tampak seorang bocah laki-laki seusianya menyembulkan kepala dari balik pagar, menatapnya intens. Ia sedikit kaget, bocah itu lumayan terlihat menyeramkan karena melemparkan tatapan tak bersahabat. Ia pun berdiri, lalu tersenyum sambil menyodorkan termos es.

"Mau beli es?" tanya Vanya ramah.

Bocah laki-laki itu berpikir. Perlahan dengan langkah takut-takut ia pun menghampiri Vanya. "Kamu jualan es?" tanyanya lembut.

"Enggak, batako," jawabnya datar. Ia tertawa kemudian. "Becanda. Iya, es mambo."

"Aku beli satu, ya," kata bocah laki-laki itu ramah sambil tersenyum manis.

Vanya bahagia sekali. Akhirnya ada yang membeli dagangannya. Ia tersenyum semangat menatap bocah laki-laki di depannya. Bocah yang lebih pendek darinya, berkulit hitam dan ramah. Ia takkan melupakannya.

***

Suasana malam ini terasa sangat berbeda. Di dalam kamarnya, Vanya hanya termenung, perasaannya tidak enak. Untuk keluar kamar pun tidak boleh. Orang tuanya sedang di rumah, dan mereka tidak suka jika selalu melihatnya. Tiba-tiba, terdengar suara ribut dari balik pintu kamar. Seperti ada banyak orang yang datang ke rumah. Ia pun mendekat, hendak membuka pintu. Ketika membuka pintu, ia sangat terkejut melihat lima orang pria yang bertubuh tinggi dan kekar lengkap dengan topeng, mengelilingi ayah dan ibunya. Di depan orang tuanya ada dua pria lagi yang lebih muda, dan tidak menutupi wajahnya sama sekali.

Salah satu dari dua pria itu, menodongkan pistol ke arah ayahnya. Seketika bunyi keras yang dihasilkan pistol tersebut terdengar berkali-kali. Mulutnya menganga, ia melihat sendiri bagaimana ayahnya bermandikan darah dan jatuh tersungkur. Sementara itu, ibunya meraung pilu sambil menatap jasad ayahnya.

"Siapa kalian! Mengapa membunuh ayah!" teriaknya penuh emosi dengan air mata yang mengalir deras.

Pria itu pun mengarahkan pistol ke arahnya. Namun, pria lain yang tidak memakai topeng menahan. "Hai, Nak," sapa pria itu dengan bibir tersenyum. Ia merangkul Vanya lembut sambil membalikkan tubuh Vanya ke belakang, agar tak melihat ke arah orang tuanya. "Siapa namamu?"

"Ailee," jawabnya lemah. "Apa yang Bapak lakukan kepada orang tua Ailee? Mereka salah apa?" tanyanya sambil menangis.

Pria itu menangkup wajah Vanya sebentar, lalu menutup kedua telinga Vanya. Suara tembakan dan jeritan ibunya terdengar, ibunya turut tersungkur dan tewas. Samar-samar, Vanya mampu mendengarnya, ia memejamkan mata erat karena takut.

Pria itu tersenyum dan mengusap pelan kepala Vanya. "Dunia ini liar. Kita harus bisa memenangkan perang untuk bertahan hidup. Singkirkan ."

"Apa yang Bapak bicarakan? Apa orang tua Ailee menjahati Bapak?" tanyanya sendu.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang