37. FAKTA

114 26 46
                                    


"Sudah pasti, ini ekstasi." Vanya menaruh plastik bening kecil yang berisikan lima pil obat dengan warna yang beragam serta cap di atasnya.

"Dan ini rokok ganja. Selintingan ganja yang dicampur tembakau." Vernon menaruh sebatang rokok di atas meja, sambil membuka kertas pembungkus rokok tersebut. Tampak campuran ganja kering yang sudah dipotong-potong kecil—berwarna kehijauan—dengan tembakau.

"Kalau ternyata Kafhi dan Jabal otak penyebaran narkotika di sekolah ini, menggantikan Zico, apa mungkin ...."

"Bukan wakepsek yang terlibat, melainkan kepsek," imbuh Leon menyambung perkataan Aya yang terhenti. "Sepertinya ada yang berusaha agar kita salah paham di sini." Semua orang mengernyit ke arah Leon. "Kita tidak bisa percaya hanya dengan data kelam di internet. Bukannya meragukan keahlian Zanu, hanya saja, bisa jadi mereka juga memanipulasi data itu. Tidak mungkin mereka sebodoh itu," jelasnya. "Bisa jadi hanya sekadar pengalihan, 'kan?"

Aya mengangguk. "Kalau begitu, target kita adalah kepala sekolah, Kafhi, dan Jabal."

Vernon mengeluarkan kotak hitam sebesar kurang dari telapak tangan dari dalam tas. Ia membuka kotak itu, dan mengeluarkan spy camera sebesar kacang dan alat penyadap suara berbentuk bulat dan lebih kecil dari uang logam. "Pasang kamera ini di ruang kepsek, dan penyadap suara di ikat pinggangnya. Aku pastikan, beliau selalu memakai ikat pinggang yang sama setiap harinya," katanya.

Vanya mengernyit. Tanpa sadar, ia menatap pria itu lekat-lekat. Pasalnya, ia pernah mendapati kamera itu di tasnya, dan alat penyadap suara yang persis di lipatan pergelangan tangan pada bajunya. Tangannya pun mengepal kuat. Jangan permainkan saya seperti ini. Anda yang akan hancur terlebih dahulu.

"Kenapa, Van?" tanya Zanu heran ketika melihat tatapan gadis itu kepada Vernon.

Vanya tersenyum ringan. "Tidak ada. Biar saya yang mengatur kedua alat itu. Kepsek akan dapat kita awasi."

"Bagus." Vernon mengambil lagi sebuah kotak hitam berukuran sama dari dalam tas, dan mengeluarkan dua alat penyadap suara yang tiga kali lebih kecil dari uang logam. "Tempelkan ini di lipatan kerah baju Kafhi, rambutnya lumayan panjang, jadi tidak akan terlihat. Satu lagi, di lipatan sepatu Jabal, dia tidak pernah berganti sepatu."

"Biar aku yang urus!" seru Leon.

"Ya, Anda bisa naruh itu di sepatu Jabal, tetapi buat naruh itu di dekat lipatan kerah baju Kafhi, Anda harus pura-pura mau cium dia, sambil memegang tengkuknya," jelas Vanya frontal.

"Biar saya yang urus Kafhi!" seru Aya yakin.

Semua orang melihat ke arah Aya. "Jangan!" sergah Zanu. "Ah, baiklah, tapi aku akan awasi prosesnya," ucapnya pasrah mengingat semuanya harus profesional dan saling memercayai.

Mereka semua pun bergegas pergi dengan alat mata-mata itu, kecuali Vernon. Ia siap dengan ponsel di mana spy camera terhubung ke sana, dan black box—kotak hitam kecil yang canggih—, di mana alat sadap suara terhubung. Seharusnya ia tinggal bersama Zanu, tetapi pria itu ingin mengawasi Aya.

Aya sudah bergegas menuju Kafhi, ia butuh banyak waktu, diikuti samar oleh Zanu. Begitu pula Leon dan Vanya, sudah menuju tempat tujuan masing-masing.

***

Misi ini sangat mudah bagi Vanya, karena ia siswa berprestasi dan mudah sekali untuk dekat dengan kepala sekolah. Leon pun tak terlalu kesulitan, ia juga mengenal Jabal. Sedangkan Aya, ia perlu sedikit berusaha ekstra.

"Kafhi." Aya tersenyum manis. Ia menyapa pria itu dari jauh. Si ketua OSIS yang sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya pun tersenyum menghampiri.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang