46. BERTENGKAR

110 22 25
                                    


Semua orang di kelas XI IPA I terlihat gelisah. Pasalnya, salah satu anggota kelas mereka belum kembali ke kelas setelah izin keluar pada jam pertama tadi. Sekarang sudah jam istirahat. Guru tadi menyarankan untuk mencarinya di sekitar sekolah, tetapi tetap tak ditemukan. Dihubungi pun tidak bisa. Mereka sekarang hanya bisa menunggu.

"Vernon!" seru Vanya dan langsung berlari menghampiri.

Semua orang terlihat mengembuskan napas lega. Warga kelas yang menghilang akhirnya kembali. Namun, mereka khawatir karena wajah Vernon babak belur. Pelipis dan sudut bibirnya tidak berhenti meneteskan darah.

Aya bergegas menghampiri. "Anda ke mana aja, Ver? Kenapa bisa babak belur?" tanyanya khawatir.

Yang lain tidak mampu bersuara. Cukup para sahabat Vernon yang bereaksi. Mereka hanya diam di tempat masing-masing sambil memerhatikan.

Vernon tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menatap Vanya lurus dan tajam tanpa berkedip, sambil mengepalkan kedua tangan.

Jodi yang merasakan suasana kelasnya berubah mencekam dan canggung, mendadak paham dengan situasi. "Teman-teman, karena Vernon udah kembali, jadi kayaknya kita keluar dulu. Pada lapar juga, 'kan? Biar Vernon sama sahabat-sahabatnya di sini." Ia pun berjalan keluar kelas, diikuti teman-teman yang lain.

Di dalam kelas, tinggal Vernon, Vanya, Aya, Leon, dan Zanu. Vernon sedari tadi masih belum berhenti menatap tajam Vanya, membuat gadis itu menjadi sangat khawatir.

"Non ... ada apa?" tanyanya pelan.

"Irjen. Pol. Fahri Adrich, Kapolda Sumatera Barat, dini hari ditangkap di kediamannya atas dugaan bekerja sama dengan buronan mafia terbesar, Juand," ucapnya penuh penekanan. "Apa kamu becanda?" tanyanya sambil menahan amarah.

Vanya tersentak. Ah, iya, rencana ini telah terlaksana.

"Apa?!" tanya Aya kaget. "Kok bisa? Terus ini Anda dari mana?"

Vernon menoleh ke arah Aya. Ia menarik napas dalam, dan mengembuskan kasar. "Aku tadi pergi menyusup ke markas kecil mereka. Rumah mewah di jalan Proma, gak jauh dari sini. Awalnya hanya ingin mengambil rekaman, kalau yang terlibat dengan Juand itu bukan ayahku, tetapi ...." Ia mengurut kepala sebentar. "Aku terlalu emosi dan tidak sabar. Aku menghajar mereka, yang ternyata banyak sekali."

"Juand ada di sana?" tanya Leon sambil mendekat, ia tampak sangat khawatir.

"Enggak, tetapi ada Baim. Tadinya aku berhasil mendapatkan rekaman wajahnya dan percakapan mereka, tetapi kamera itu mereka ambil sewaktu aku digebukin."

"Udah, nanti dulu ceritanya! Vernon harus segera diobati, lihat dia parah sekali. Saya ambil obat-obatan dulu," ucap Aya sambil bergegas pergi.

"Aku ambil makan, kamu pasti lapar, 'kan?" Leon pun turut beranjak pergi.

Saat ini, tinggal Zanu, Vanya, dan Vernon. Vanya semakin mendekat, ia menatap mata Vernon lekat. "Anda berbohong," katanya dalam. "Di sana ada Juand, dan kamera kecil itu masih di saku Anda sekarang."

Vernon tersenyum miring. Ia mengambil kamera berukuran kecil dari saku celana dan mengangkat kamera itu. "Terima kasih karena sudah melaporkan keberadaanku kepada mereka, dan terima kasih karena tidak melaporkan keberadaan kamera ini."

Vanya menyeringai. "Satu lagi, terima kasih karena memperingatkan mereka untuk tak membunuh Anda."

Vernon memutar bola mata malas, lalu mengangguk remeh. "Ya, dan sekarang, apa kamu mau membunuhku karena kamera ini?"

"Tolong, berikan kamera itu kepada saya. Di sana ada percakapan mereka tentang kasus Fahri Adrich."

"Ha-ha-ha." Vernon tertawa hampa sambil mengacak rambut frustrasi. "Fahri Adrich itu ayah aku! Kamu gila!" bentaknya.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang