11. Sebenarnya ....

199 40 50
                                    


Jam di dinding menunjukkan pukul 20.30 W.I.B. Vanya buru-buru keluar dari kamar. Ia menghampiri Jey yang sedang membaca koran di ruang tengah. Ruang tengah yang cukup lapang dengan satu set sofa mewah berwarna kuning keemasan, beserta TV LED lebar yang menggantung di dinding seberang sofa.

"Pak! Bapak Jey!"

Jey tersentak dan menoleh ke arah anaknya, ralat, anak bosnya.

"Ada apa, Ailee?" tanyanya penasaran. Ia menutup koran dan memilih untuk fokus pada gadis itu.

Vanya segera duduk di samping Jey. "Ini beneran, ayah mau mencari pengganti saya, Pak?" tanyanya heran sambil mengibas-ngibaskan amplop cokelat yang dipegang.

Jey menghadap tubuh sepenuhnya ke arah Vanya. "Benar. Karena pekerjaanmu dari dulu sangat berat dan banyak, apalagi sekarang sudah kelas dua SMA, lebih baik fokus untuk kuliah besok. Tuan Juand sangat mempertimbangkan kebaikan demi masa depan Ailee."

Kedua alis Vanya bersatu, keningnya berkerut. Tatapannya sangat heran. "Dia mempertimbangkan kebaikan demi masa depan saya? Kenapa?" Ia mengalihkan pandangan. "Dia bahkan orang yang telah membunuh kedua orang tua kandung saya. Aneh sekali jika dia memikirkan saya seperti itu," ucapnya pelan.

Jey tersenyum kecil. "Ailee sudah bersama Tuan Juand lebih dari sepuluh tahun. Beliau juga tidak berkeluarga, dan tidak memiliki siapa pun kecuali Ailee. Wajar saja dia menyayangi Ailee seperti anak kandungnya sendiri."

"Tetap saja tidak mungkin, seseorang yang sudah banyak sekali membunuh seperti dia, memiliki perasaan, Pak Jey," bantah Vanya. "Hah, sudahlah. Saya lebih penasaran siapa orang yang bisa-bisanya dipercaya ayah buat menggantikan saya."

"Yang bapak tahu, dia masih seumuran Ailee, tapi pria," ungkap Jey.

"Hm ... menarik. Dia benar-benar harus belajar keras." Ia pun berdiri, hendak kembali ke kamar. "Oya, Pak, X tadi udah kasih alamat lengkap pertemuan saya sama si pengganti itu. Agak heran sih, ternyata tempatnya di kafe umum dekat sini."

Karena kaget, Jey refleks berdiri. "Apa? Mengapa terang-terangan seperti itu?" Ya, cukup kaget. Biasanya pertemuan yang membahas pekerjaan akan dilaksanakan di tempat-tempat sepi, atau tempat-tempat yang kata orang banyak 'menakutkan', atau memang di tempat perkumpulan orang-orang kriminalis.

"Percaya saja, Pak. X udah lama kerja sama kita. Mana pernah dia salah. Lagian, saya cuma ngobrol-ngobrol aja nanti. Kalau udah diatur X, semua pasti aman terkendali."

"Baik, Ailee. Bapak seharusnya tidak meragukan kemampuan X," ucapnya sopan.

***

Vanya berhenti di depan sebuah kafe yang memiliki bangunan cukup besar. Kafe itu berdesain kekinian, dengan hiasan tanaman-tanaman segar—banyak pot-pot bunga yang indah di sekitar cafe, menyambut para pelanggan. Di dinding depan paling atas, terdapat palang besar yang bertulis 'R&A'. Dinding kaca depannya pun sangat lebar, sehingga menampakkan keadaan kafe yang ramai. Ia mendekat ke pintu yang terdapat tempelan kertas bertuliskan "Buka sampai pukul 00.00 W.I.B". Kira-kira masih dua jam lagi kafe ini tutup.

Malam ini, ia bergaya seperti anak muda biasa yang hendak bertemu temannya--memakai sepatu, celana hitam polos berbahan katun tebal, dengan baju putih-hitam selutut. Tak lupa jilbab yang senada dengan baju, terbalut rapi di kepala. Ketika baru masuk, telinganya disambut alunan musik yang tenang bercampur suara orang-orang yang sedang mengobrol ringan.

Ia segera menuju ke mejanya yang katanya terletak paling sudut belakang. Meja yang terlebih dahulu dipesan X ini terletak strategis dan tidak terlalu menarik perhatian orang-orang. Ia ingin segera duduk karena sudah dua puluh menit berjalan kaki. Sebenarnya, ia bisa saja naik ojek online, tetapi berjalan kaki di daerah Kota Bukittinggi ini sangat menyenangkan. Di sisi kiri-kanan jalanan terdapat banyak fasilitas tempat duduk, sehingga pada malam harinya, tetap ramai karena banyak yang duduk di kursi-kursi tersebut.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang