"Hentikan!"
Baim menghentikan aksinya, dan langsung berdiri menghadap Juand yang baru datang bersama Zanu. Zanu langsung menghampiri tubuh Vanya yang dipenuhi darah. Ia segera menggendong dan membawanya ke ruang perawatan yang terdapat di bawah tanah ini.
"Bukankah ... Tuan ...," ucap Baim takut-takut.
"X telah menjelaskan semuanya. Lagian, aku tidak menyuruhmu untuk membunuh anakku! Kamu tahu? Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisinya, tidak ada yang seperti dia." Setelah mengucapkan itu, Juand pergi meninggalkan ruangan.
Sementara itu, Zanu berlari sambil menggendong Vanya. Ia tampak sangat cemas sekali. "Dik, kamu harus bertahan. Abang tahu kamu kuat." Ia pun sampai di ruangan paling ujung setelah berlari melewati beberapa ruangan. Ruang perawatan cukup besar, di sana peralatannya lengkap, termasuk peralatan operasi dengan dua orang dokter laki-laki paruh baya yang berpengalaman, ditambah tiga orang perawat. Tim medis bisa dipanggil lebih banyak lagi jika dibutuhkan. Semua ini tentu saja sengaja disiapkan, karena pekerjaan mereka mengancam nyawa. Saat ia memasuki ruang perawatan, dokter dan perawat sudah menyiapkan semuanya. Ia segera membaringkan tubuh Vanya di atas kasur, dan mengambil kamera pengintai sebesar satu pertiga uang logam yang melekat di bahu Vanya, dan bergegas keluar dari ruangan. Pintu ruangan pun segera ditutup.
Zanu terduduk di depan ruangan, ia memandang khawatir dengan jantung yang berdetak cepat. Ia pun beralih melihat kamera pengintai dan berucap, "Vernon, kamu lihat sendiri, 'kan? Ah, pasti gak dengar, ya? Ya, udah, nanti aku tambahin penyadap suara dan taruh di ruang perawatan. Kamu bisa lihat Vanya selama masa pemulihan." Ia melihat ke arah pintu sekali lagi. Sepertinya akan lama karena memang kondisi Vanya sangat memprihatinkan. Ia lalu bergegas pergi.
***
"Aya!" Zanu bergegas menghampiri Aya yang tampak baru keluar dari rumah sakit. "Mau ke mana?" tanyanya khawatir.
Aya kebingungan ada banyak hal yang dipikirkannya. "Mau jemput baju saya dan orang tua saya ke rumah."
"Orang tua kamu di mana? Bang Pio gimana?"
"Orang tua saya di rumah Tana, jenazahnya sudah dipulangkan. Tana murni meninggal karena ditembak. Sementara Bang Pio masih belum sadar. Beruntung, posisi pelurunya tidak dalam, sehingga mudah diambil. Pertolongan pertama setelah kejadian juga sangat baik. Vanya mana?"
"Vanya tadi tertabrak mobil. Kakinya sulit berjalan, jadi aku suruh untuk beristirahat di rumah," ungkapnya serius.
Aya tampak kaget. "Apa? Terus—"
"Kamu jangan khawatirin Vanya, dia baik-baik saja. Sekarang lebih baik kita bergegas. Biar aku antar kamu ke rumah." Zanu beranjak pergi menuju motornya. Namun, suara panggilan Aya menahan langkah kakinya.
"Zan ...."
Zanu pun menoleh.
"Apa ada sesuatu hal yang mau Anda sampaikan ke saya?" tanyanya pelan.
"Tidak ada."
***
Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di rumah pun, Aya langsung memasuki rumahnya. Ia menuju kamar, dan terduduk di ranjang. Sesaat ia menunduk dan berpikir. Matanya pun beralih ke meja belajar di sudut kamar. Di atasnya, ada potongan hati yang terbuat dari stik es dicat biru muda. Ya, itu benda yang pernah dibuat Zanu dan diberikan kepadanya. Ia mendekat, dan meraih benda itu.
Vanya dan Zanu itu siapa?
Aya mengernyit. Apa? Kenapa dokter?
Pasien mengigau, dan menyebut-nyebut nama itu. Mungkin berkaitan dengan kejadian yang menimpa pasien.
Aya berteriak dan membanting keras benda itu hingga hancur berserakan di lantai. "Orang pertama yang menemukan abang dan Tana itu adalah Vanya dan Vernon. Jadi, kalian semua tahu sesuatu!" Ia terduduk di lantai sambil menangis sejadi-jadinya. "Yang pernah dikatakan Leon itu benar. Mengapa kalian membiarkan kami seperti orang bodoh? Andai Leon ada di sini."
Di teras rumah Aya, Zanu bisa mendengar suara benda dibanting keras dan suara tangisan Aya. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun selain duduk terdiam di teras. Ia juga takkan bisa menjelaskan apa pun. Datang untuk menenangkannya saja rasanya tidak pantas. Ia hanya bisa menangisi keadaan.
Beberapa lama kemudian, Aya keluar dari balik pintu dengan tas ransel yang diisi penuh. Ia mengunci pintu, dan berjalan hendak melalui Zanu yang duduk mematung.
"Aya."
Suara panggilan Zanu menghentikan langkah Aya. Terdengar serak. Sepertinya ia juga habis menangis.
Aya menoleh, dan bertanya, "Apa ada sesuatu yang mau Anda sampaikan?"
Zanu mengangguk lemah. Aya pun mendekat, dan duduk di sebelah pria itu. Ia menoleh, menatap mata gadis itu yang sembab, mungkin sama dengan matanya saat ini. "Jika kehidupan sekarang terlalu kejam dan sama sekali tidak berpihak, maka aku sangat berharap di kehidupan lain bisa lebih beruntung, dan hidup sesuai apa yang hatiku inginkan. Bukan dikendalikan orang lain. Bukan seperti orang bodoh yang jahat." Ia meraih pipi gadis di sebelahnya dan mengusapnya lembut. "Di kehidupan lain itu, aku takkan melihat lagi sisa-sisa air mata ini. Aku akan bersikap baik, dan membahagiakan orang yang kucintai."
Air mata Aya menetes. Ia merasakan kesakitan dari pancaran mata sendu itu. "Siapa yang mengendalikan Anda?" Ia terisak dan menunduk. "Saya mohon, jangan hidup seperti itu."
"Ay, kamu lihat aku." Zanu menghapus air mata Aya. "Aku akan berjuang sampai akhir, dan memperbaiki alur kisah ini."
***
Vernon duduk di kursi tunggu rumah sakit. Ia baru sampai setelah memberikan keterangan di kantor polisi. Tak banyak yang bisa dikatakannya, selain di saat ia datang semuanya sudah seperti itu. Lagian, setelah Bang Pio sadar, semuanya akan jelas. Ia menghubungi Aya berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Ia pun teringat akan sesuatu. Tangannya beralih mengambil sebuah monitor seukuran telapak tangan dari balik jaketnya. Ia menonton rekaman kamera pengintai yang ditempelkan di baju Vanya. Ia ingin tahu, apa yang dilalukan gadis itu setelah ia pergi.
Vanya menangis. Baiklah, mungkin ada rasa bersalah di dalam diri gadis itu. Beberapa saat kemudian, ia kaget melihat kedatangan banyak pria mengelilingi gadis itu dan menyeretnya ke dalam mobil. Adegan demi adegan membuatnya terkejut, apalagi saat gadis itu menyerah begitu saja ketika dikeroyok. Ia pun refleks berdiri, dan hendak melangkah pergi. "Tempat ini ... ruang bawah tanah itu, pasti di sana," katanya gelisah. Namun, ia menghentikan langkah kemudian, dan terdiam. Rekaman ini sudah berlalu lebih dari sejam yang lalu. Ia putuskan untuk duduk kembali dan lanjut menonton. Jika ke sana sekarang, sama saja dengan bunuh diri. Lagian, ia harus tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Vernon hanya menunggu adegan selanjutnya dengan hati yang teriris. Tanpa sadar, air matanya menetes. Ia benar-benar hancur melihat Vanya dikeroyok habis-habisan seperti itu. Pikirannya sudah macam-macam. Apa gadis itu selamat? Ia sudah hampir berteriak ketika seseorang menodongkan pistol. Namun selanjutnya, ia melihat Zanu menggendong Vanya, dan buru-buru membawanya pergi. Ia menjadi tidak sabar untuk melihat kejadian berikutnya. Jantungnya seperti ingin meledak, napasnya tercekat, ia benar-benar frustrasi menyaksikan segalanya. Bagaimana mungkin Vanya membiarkan dirinya disiksa seperti itu? Ia bisa saja mati sia-sia. Bukankah Ailee Zevannya yang ia kenal sedari dulu itu pantang menyerah? Vernon mengacak rambutnya frustrasi. "Maafin aku, Ai," ucapnya lirih.
***
Bacod.Author
Author-nya lebih frustrasi. Kadang gak tega, mereka semenyedihkan itu. Hm.
Btw, ada yang liburan? Wkwkk
Terima kasih sahabat Apenjer sudah mengikuti sampai sejauh ini. Kehidupan mereka emang sesuram itu. :(
Jangan lupa vote, comment, and share cerita ini jika kamu suka. 😻
Salam Damai,
SETIGA
KAMU SEDANG MEMBACA
INDICATOR OF LOVE (✔)
Teen Fiction[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Bayangkan jika saat ini kamu memiliki geng persahabatan yang terdiri dari dua cewek dan tiga cowok. Kalian sudah seperti keluarga dan selalu bersemangat untuk memecahkan kasus-kasus yang terjadi. N...