23. Ada Kami di Sini

138 29 50
                                    


Mereka keluar dari UKS. Vernon berjalan di depan dengan Zanu dan Leon. Sementara Aya dan Vanya di belakang. Mereka melewati lapangan basket yang terletak di tengah-tengah sekolah.

Aya menghentikan langkah. Matanya tiba-tiba melihat lurus, memancarkan ketakutan. Tiga pria di depannya juga menghentikan langkah. Vanya segera melihat apa yang menjadi perhatian sahabat-sahabatnya ini.

Ternyata ada Tian yang sedang menyeringai sambil berjalan mendekat. Wow! Berani sekali. Digebukin Leon saja hampir tewas, sekarang ia malah menghampiri dengan langkah berani. Ya, walau dia juga membawa dua temannya. Namun, dia juga pasti akan kalah, kalau niatnya untuk mengajak baku hantam.

Langkah Tian dihentikan Vernon, Leon, dan Zanu, yang memang berdiri di depan Aya dan Vanya.

"Duh, santai dong, Bro! Aku cuman mau ketemu pacarku, nih." Nada suaranya sengaja dilembut-lembutkan, terkesan mengejek, sementara bibirnya tersenyum miring.

Vernon memangkas jarak dengan pria menyebalkan di depannya. "Pergi, atau mati," ancamnya dingin. Ia sangat benci dengan pria yang sudah jahat kepada sahabatnya ini.

Tian tertawa, diikuti kedua temannya. Ia berjalan mendekat ke arah Aya, tetapi ditahan Zanu.

"Zanu, Leon, dan Vernon, yang terhormat, aku cuma mau bilang sesuatu hal yang sangat penting ke Aya. Setelah ini, aku bakal pergi, atau ... Aya sendiri yang bakal mencegahku pergi?" Tian melemparkan senyuman nakal ke arah Aya. "Tetapi aku rasa, kalian semua juga harus tahu."

Zanu mencengkeram kerah Tian. "Banyak omong!" Ia melayangkan tinju, tetapi langsung dicegah oleh Vanya.

"Bang! Berhenti!" teriak Vanya. "Sadar situasi, kita di tengah-tengah sekolah ini. Semua orang memerhatikan. Tolong jaga sikap sebagai pelajar!" sergahnya tegas.

Zanu melepaskan tangan. Namun, Leon dan Vernon sudah siap-siap ingin menyerang Tian sambil berkata, "Biarin!"

Vanya terus melerai. "Eh! Udah!" Membuat kedua pria itu mengurungkan niat. "Malu dilihat orang banyak, tuh. Ini namanya contoh yang gak baik. Masa kita mau begitu?" Ia menasihati, membuat ketiga sahabat prianya terdiam. "Lagian, Tian gak akan berani macam-macam, ada kita juga di sini."

Benar juga.

Tian tersenyum kecil. "Tuh! Vanya emang cerdas." Ia pun berjalan mendekati Aya. Menatapnya dengan lekat sambil menyeringai. Alisnya terangkat.

Vanya mendekat, berdiri di samping Aya yang menunduk. Namun, Tian masih belum mengungkapkan sepatah kata pun kepada Aya. Semua menunggu. Terdiam.

Vanya pun mengernyit sambil menatap wajah Tian, yang lama kelamaan ekspresinya berubah menjadi ... aneh. Ekspresi ini akrab dengannya dulu, ya, ia merasakan itu. Melihat ekspresi Tian, ia jadi ingat masa kecilnya, di mana semua orang termasuk kedua orang tuanya sering menatapnya dengan ekspresi seperti itu. Ekspresi merendahkan.

Ia pun segera mencengkeram kerah Tian walau sedikit berinjit, membuat Aya tersentak mundur. Semua orang kaget. Vanya meninju keras wajah Tian, lalu menyikut kuat kepalanya. Tak cukup, ia menendang perut pria itu dengan lutut, lalu meninju keras rahangnya, membuat pria itu langsung tumbang.

Bahkan Aya, Leon, Vernon, dan Zanu pun belum sempat berpikir, ada apa dengan Vanya?

"Woi, Vanya! Kamu gila!" Kedua teman Tian mendekat ke arahnya, tetapi langsung disambut tendangan keras olehnya. Celana panjang yang dipakainya di balik rok, terlihat. Ia tampak sangat marah dengan kedua tangan mengepal, dan tatapan tajam.

Aya, Zanu, Leon, dan Vernon, masih terkejut. Mereka memandang Vanya dan Tian secara bergantian.

"Dik! Kenapa!?" tanya Zanu heran, mewakili isi kepala yang lain.

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang