25. KORA-KORA

136 26 45
                                    


Saat ini, Vanya sedang menatap refleksinya di pantulan cermin. Kata-kata Aya masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia menarik napas dalam-dalam perlahan, lalu mengembuskan kasar. "Saya baik-baik saja!"

Namun sebenarnya, ia menyadari. Ada yang salah dengan jiwanya, jika ia mulai berpikir keras untuk kehidupan yang dilaluinya. Emosi tidak stabil, hasrat ingin melenyapkan, dan tidak sadar melakukan sesuatu hal yang buruk. Namun, itu hanya ketika ia terlalu berpikir. Jika tidak, maka semuanya akan stabil, dan baik-baik saja. Jadi, ia harusnya tak banyak berpikir.

"Jangan terlalu memikirkan larangan ayah! Jangan memikirkan masa lalu yang buruk itu! Jangan memikirkan semua perbuatan yang sudah saya lakukan!" Ia memegang kepala. Baiklah, sepertinya lebih baik jangan diungkapkan, karena justru semakin teringat semuanya.

Ia pun menyambar tas kecil dengan rantai yang cukup panjang di atas kasur dan memakainya di bahu, sambil melangkah ke luar kamar. Malam ini ia sudah berjanji dengan sahabat-sahabatnya untuk pergi ke pasar malam. Tiba-tiba, langkahnya berhenti ketika melihat Juand dan Baim duduk di sofa ruang tamu. Ia lalu memutuskan untuk duduk di sebelah mereka.

"Kamu tampaknya sudah siap? Rapi sekali," ucap Juand sambil tersenyum kecil menatap anaknya.

Vanya hanya berpenampilan biasa. Celana hitam panjang, dengan atasan jaket cokelat-hitam. Tak lupa jilbab cokelat melilit rapi di kepala. "Ayah sudah mengizinkan, 'kan? Ada apa lagi?" tanyanya sangsi.

"Ada beberapa hal yang harus kamu tahu." Juand langsung menatap anaknya serius. "Dari dahulu, perihal kasus ayah yang ditutup, berkas-berkas di kepolisian yang menghilang sehingga mereka tidak punya pilihan, bukan hasil kerja rekan kita di kepolisian."

Ia mengernyit. "Maksudnya?"

"Bapakmu berhasil mendapatkan buktinya. Mereka, rekan kita di kepolisian, tidak tahu-menahu bagaimana tiba-tiba kasus ayah bisa seakan-akan seperti dihilangkan."

"Mereka hampir lima puluh persen di sana, tetapi tidak mengetahui apa-apa?" tanya Vanya heran.

"Ya! Ayah yakin, Vero sebagai kepala kapolres mengambil secara diam-diam misi ini, karena sudah curiga jika ada rekan kita di kepolisian, dan kamu harus mendapatkan sesuatu dari adiknya, tidak mungkin jika ia tidak turut terlibat."

Vanya berpikir sejenak. "Cerdas juga. Mereka bisa saja menyerang kita secara tiba-tiba nanti." Tangannya menggenggam kuat. "Ayah tenang saja."

Juand tersenyum tipis. "Ayah yakin kamu bisa." Ia pun melangkah pergi keluar diikuti Baim. Namun, di ambang pintu, ia menoleh sebentar. "Mulai sekarang, kamu boleh dekat dengan mereka, jalan-jalan atau apa pun terserah. Namun setelah itu, lakukan sebuah misi untuk ayah," katanya sambil tersenyum misterius.

***

Aya mengecek jam tangan. Ia menunggu kedatangan Vanya yang belum menampakkan diri. Saat ini, ia sudah berada di Lapangan Kantin bersama Vernon, Leon, dan Zanu.

Sesekali ia memeluk diri sendiri karena merasa dingin. Walau ia mengenakan celana panjang dan baju selutut yang agak tebal, tetap saja hawa dingin mampu ia rasakan. Mungkin karena malam ini sangat gelap—mendung—, ditambah angin yang sedari tadi tidak berhenti berembus. Sebentar lagi sepertinya akan gerimis.

Tiba-tiba, ia tersentak karena seseorang menyelimuti tubuhnya dengan jaket. Ketika menoleh, didapati teman prianya itu tersenyum tipis.

"Makasih, Zan."

"Santai aja," balasnya datar.

Vanya berlari kecil menghampiri sahabat-sahabatnya yang menunggu di jalan masuk. "Assalamu'alaikum!"

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang