52. Benar Juga

131 23 15
                                    


Dua bulan telah berlalu. Aya terdiam memandang abangnya—Pio—yang duduk termenung di teras rumah. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin ditanyakannya, tetapi ia takut jika itu hanya akan membuka luka di hati abangnya. Apalagi setelah kejadian itu, abangnya cenderung menjadi sangat pendiam dan tertutup.

"Ngapain kamu berdiri di pintu? Sini, duduk di sebelah abang," tutur Pio datar tanpa menoleh sedetik pun pada Aya. Ia tetap memandang hampa ke depan.

Aya tersentak, dan perlahan menghampiri. Ia lalu duduk di sebelah abangnya yang sudah mulai membaik.

"Abang baik-baik saja, jangan khawatir," ucapnya lagi.

Aya pun memandang abangnya prihatin. "Bang," panggilnya pelan. "Apa yang Abang pikirkan?"

Pio menoleh, dan tersenyum kecil. "Tidak ada."

"Abang berubah drastis, dan itu sangat mengerikan," kata Aya serius.

"Abang melihat langsung kematian Tana, kejadian itu masih terus membayangi. Abang hanya butuh waktu untuk menyembuhkannya. Makanya, akhirnya abang setuju untuk menyerahkan bangunan itu kepada mereka. Abang benci tempat itu. Biar saja dihancurkan," ungkap Pio. "Selebihnya, abang baik-baik saja. Jadi, singkirkan wajah khawatirmu itu yang terus meneror abang," suruhnya setengah bercanda.

Aya tersenyum lega mendengar penjelasan abangnya yang cukup panjang. Pasalnya, itu kata-kata terpanjang yang keluar dari mulut abangnya setelah kejadian itu. "Bang," panggilnya ragu.

"Kenapa ragu? Apa yang mau kamu tanyakan?" tanyanya penasaran.

Hening sejenak, Aya terlihat berpikir. "Abang membenarkan polisi jika itu murni perampokan. Kenapa?"

"Memangnya polisi bisa apa? Itu satu-satunya alur yang mudah. Semua barang kami hilang ... kamera pengawas rusak ... dan jika dibilang ini berhubungan dengan perusahaan yang menginginkan bangunan itu, polisi tidak akan menang melawan mereka ... atau justru tunduk. Lebih baik permudah saja sedari awal," terangnya pelan.

"Apa Abang mengetahui pelaku pada malam itu?" tanya Aya hati-hati.

Pio memandang wajah Aya teliti. "Melihat dari wajahmu, sepertinya kamu sudah tahu jawabannya."

"Lantas, mengapa Abang bilang ke polisi hanya satu orang pelaku bersenjata api?" tanyanya tidak sabaran.

Pio mengernyit. "Apa iya, mereka? Apa kita sepemikiran sekarang?" tanyanya heran.

"Aya hanya menerka jika pelakunya lebih dari satu orang."

"Ooo ...." Pio mengangguk sambil berpikir. "Begini, sebenarnya ada lima pria besar, seorang pria muda, dan seorang wanita muda. Setelah Tana tertembak, yang wanita tampak marah dan menyebut nama 'Zanu Xabier'." Ia menghentikan ucapan sejenak untuk melihat ekspresi adiknya. Namun, adiknya tidak tampak terkejut, melainkan menunjukkan ekspresi dingin yang terlihat menakutkan. "Ketika abang tertembak, si wanita langsung menolong abang. Suaranya terdengar familier. Ketika abang tanya apakah dia Ailee Zevannya, dia tidak menjawab dan terus menolong abang. Setelah itu, abang pingsan."

"Mereka yang membunuh Tana? Dan menembak Abang?"

Pio menjadi bingung dengan perubahan ekspresi adiknya tersebut. "Tidak. Pria muda itu justru terlihat tidak bisa memegang pistol. Yang menembak Tana dan abang, pria besar yang lain." Ia menatap adiknya serius. "Apa kamu berpikir, jika itu memang sahabat-sahabatmu? Kamu yakin, Ya? Apa kamu tahu sesuatu?" tanyanya penasaran.

"Mengapa Abang tidak lapor saja ke polisi?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Pio.

Pio mengembuskan napas berat. "Aya, ini masalah serius. Kita tidak bisa bermodal tebak-tebakan dan firasat saja. Harus ada bukti nyata."

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang