2. Apenjer

621 103 172
                                    

"Ini."

Vanya menaruh tiga bungkus siomai di atas meja Vernon. Sementara itu, Vernon, Zanu, dan Leon hanya asyik bermain game tanpa memedulikannya. Jangankan merespons, menoleh saja tidak. Ia memutar bola mata malas sambil berjalan ke arah kursinya. Namun, belum sempat ia melangkah, tiba-tiba Vernon meraih lengan bajunya hingga membuat langkahnya tertahan.

"Ai ... masih baikan sama dia?" tanya Vernon dingin.

Ya, ia hanya berpura-pura sibuk bermain game. Sebenarnya, setiap detail mulai dari gadis itu datang bersama Zico di pintu kelas, sampai pacarnya itu pergi, ia sangat memerhatikannya.

Alis Vanya bertaut, ia berpikir dan menatap heran. "Dia siapa?"

"Pak Budi ...," jawab Vernon cepat, tetapi langsung disambung, "Zico-lah! Pake ditanya." Air wajahnya berubah kesal. Dari nada suaranya juga terdengar kesal, sehingga membuat Zanu dan Leon mengalihkan perhatian mereka.

"Ya, masih. Kok bisa sampai gak baik? Emangnya Anda nungguin kami putus?" goda Vanya dengan alis naik-turun.

Vernon menatap Vanya tajam. "Udah jelas kalau dia itu bukan cowok baik-baik, kenapa bertahan?"

Vanya tertawa kecil, ia melepaskan tangan Vernon dari lengan bajunya. Ia menyejajarkan kepala, sehingga tepat di depan wajah pria itu. Vanya menatapnya lembut kemudian. "Pertama, dia masih ada gunanya sebagai ATM berjalan. Kedua, selagi dia gak kurang ajar sama saya. Ketiga, kalau itu terjadi, kan ada Anda yang selalu datang menyelamatkan saya." Senyumannya melebar, ia senang.

"Aya mana?" tanya Vernon sambil mencari-cari tanpa memedulikan ucapan manis gadis itu.

"Sat, dah. Pengalihan topik banget--"

"Kamu ngomong apa, Ai? Kamu ngumpat?!" Nada bicaranya naik, ia menatap tidak percaya dan bersiap-siap marah.

Vanya pun menegakkan kepala, ia balas menatap Vernon dengan tatapan tidak percaya yang dilebih-lebihkan. "Mana mungkin saya ngumpat, Non? Lagian, mau saya ngumpat sampai ke dalam perut bumi pun, Anda pasti akan tetap bisa menemukan saya," ucapnya dramatis.

"ITU NGUMPET GOBLOK!" seru Leon dan Zanu serentak.

Vanya tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kekesalan yang terpancar dari ketiga sahabat cowoknya itu.

Tiba-tiba, Leon mengalihkan pandangan ke pintu. "Eh, itu Aya!" seru cowok putih bertubuh gemuk tersebut--tidak terlalu gemuk, karena postur tubuhnya tinggi. Kedua pipinya bulat, sangat lucu.

Zanu dan Vernon langsung mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud. Vanya pun langsung menghentikan tawa. Ia turut beralih memandang Aya yang berjalan cepat dari pintu kelas menuju kursi. Tampak mata Aya sembab, sepertinya habis menangis.

"Biar saya yang urus, tenang," ujar Vanya kepada Vernon, Zanu, dan Leon, yang sedang menatap Aya khawatir.

Aya duduk di kursinya sambil menunduk. Sementara itu, Vanya berjalan ke arahnya. Mereka memang duduk sebangku. Meja mereka berjarak satu meja dari Vernon dan Zanu yang juga duduk sebangku. Beda dengan tempat duduk Leon, ia hanya sendirian di posisi paling belakang.

Vanya duduk dengan tenang di kursi sambil menatap Aya selidik. "Anda habis nangis, Ya? Jadi, tadi berdua sama Tian buat nangis-nangis bombay di hadapannya?" tanyanya ngeri.

Aya menghapus sisa-sisa air mata. "Emangnya Anda gak sedih Zico selingkuh? Aduh, udah pasti enggak, ya. Salah nanya," ucap Aya malas.

Vanya hanya menyengir. "Pacar rasa suami, ya? Gitu banget."

Aya menjitak kepala Vanya refleks. Membuat yang punya kepala meringis. Lagian, Vanya sangat heran mengapa Aya sampai menangis. Padahal, dia gadis yang cantik. Kulitnya putih, hidung mancung, postur tubuhnya tinggi berisi dengan mata besar yang indah. Aya juga sangat berbakat, memiliki suara yang merdu dan hebat melukis. Berbeda dengan dirinya sendiri yang bahkan, ia tak berani menyebut dirinya cantik. Namun, kalau manis, imut, dan lucu, iya!

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang