Zanu dan Aya serentak menoleh ke arah pintu. Terlihat Leon sedang memegang dua piring camilan yang baru selesai mereka masak. Di belakangnya, ada Vernon mengikuti.
"Kenapa anak muda zaman sekarang hobi tatap-tatapan?" tanyanya heran sambil duduk di kursi.
Vernon mendelik ke arah Leon, dasar, kerjanya hanya merusuh momen. Padahal tadi ia merasa adalah waktu yang tepat untuk berbicara dengan Vanya, yang ternyata sudah berani mengungkapkan segalanya. Ah, mungkin lain kali.
Zanu pun turut mendelik. Ia juga belum mengetahui pasti, apakah perasaannya berbalas.
"Santuy, gaes," ucap Leon santai ketika mendapati tatapan mengintimidasi dari sahabat-sahabatnya.
Aya bersikap tak acuh. Ia lebih tertarik dengan martabak mi di piring, dan memakannya.
Atensi Leon, Aya, dan Zanu yang duduk di kursi dan menikmati makanan di meja, teralihkan ketika Vernon terus berjalan pelan sampai ujung tangga. Ia tersenyum kecil melihat Vanya menikmati bunga-bunga di halaman, dan tertawa ketika mengganggu kupu-kupu yang hinggap.
"Eh? Sejak kapan Vanya di sana?" tanya Zanu heran, diikuti anggukan oleh Aya.
Leon menyipitkan mata, menatap kedua remaja tersebut. "Sampai-sampai gak sadar ada orang lewat, ya."
Zanu memukul bahu Leon. "Biasa aja kali! Itu anak bisa melangkah ringan dan tidak terdeteksi."
"Ngeles aje," cibir Leon.
Vernon tidak memedulikan kehebohan yang diciptakan sahabat-sahabatnya. Ia sudah berada dalam dunianya sendiri. "Ai, makanannya udah masak!"
Vanya menoleh, sambil tersenyum. "Oya? Oke-oke, saya ke sana."
Ia menghampiri Vernon yang menunggunya. Mereka saling bertukar senyum, lalu duduk di dekat sahabat-sahabat mereka.
"Sok sweet banget," ungkap Zanu sambil memakan martabak mi.
Tangan Vanya dengan sigap merebut martabak mi di tangan Zanu, lalu memakannya. "Bacot, Bang."
Leon menatap Zanu dan Vanya bergantian. Ia mengernyit. "Apa kalian pernah mengenal sebelumnya? Maksudnya, sebelum SMA ini?"
Pertanyaan itu tidak mengusik mereka. Mereka hanya saling tatap sebentar, kemudian menjawab tak peduli, "Enggak." Sambil menggedikkan bahu.
***
"Enak banget, Bu!"
Vanya berseru senang sambil melahap makanan di depannya. Saat ini, Vanya, Vernon, Zanu, Leon, Aya, serta ibu dan Pio duduk melingkar di meja makan.
Ibu Aya tersenyum. "Vanya gak mau belajar masak, Nak?"
"Enggak, Bu. Vernon pandai masak kok, Bu!" jawabnya enteng.
Sementara itu, pria yang disebut namanya langsung tersedak, dan meneguk air banyak-banyak.
Zanu memandang Vanya sinis. "Apa hubungannya, Markonah!?"
"Tahu, tuh. Masa iya, laki mulu yang masak?" protes Leon. "Lihat, si Aya bisa masak. Ntar Zanu bisa bahagia dimasakin istrinya."
Aya dan Zanu kompak terbatuk-batuk. Lantas, tatapan Aya tertuju pada Pio, yang sedang menatapnya selidik. Ibunya pun memandang heran. Seketika Leon sedikit berteriak karena kakinya diinjak oleh Zanu.
Vernon dan Vanya menghentikan pergerakan, membaca situasi yang tiba-tiba berubah mencekam.
"Aya sama Zanu kenapa?" tanya Pio dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
INDICATOR OF LOVE (✔)
Teen Fiction[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Bayangkan jika saat ini kamu memiliki geng persahabatan yang terdiri dari dua cewek dan tiga cowok. Kalian sudah seperti keluarga dan selalu bersemangat untuk memecahkan kasus-kasus yang terjadi. N...