Vernon turun dari panggung dan langsung menghampiri sahabat-sahabatnya. Saat ia melangkah, Shahila, Jeline, dan Maudi lebih dahulu mendekati, diikuti Jodi dan Gio.
"Penampilan Vernon bagus sekali!" puji Shahila, ia memamerkan senyuman indahnya. Vernon hanya tersenyum membalas.
"Kalian semua kapan di sini?"
"Aku sama Gio dari tadi. Pas lihat kamu yang nyanyi, kita langsung live sosial media. Banyak banget anak-anak SMA Pascal yang langsung ke sini, followers kelas kita juga jadi meningkat!" seru Jodi senang. Ia senang dengan pencapaian itu.
"Siapa dulu, dong, Vernon-nya Shahila," goda Maudi. Membuat semua orang di sana turut menggoda. Sementara itu, Shahila tersenyum malu, dengan pipi yang merona.
Diam-diam Vanya melangkah pergi, tanpa ada yang menyadari. Ia berjalan menjauh sambil menahan air mata yang entah mengapa ingin sekali keluar. Perasaannya sudah buruk sebelumnya, dan melihat mereka menambah rasa sakit. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ia pun berhenti dan melihat layar ponsel. Nomor pribadi. Sudah pasti yang menelepon terkait dengan urusan pekerjaan.
Ia menerima panggilan itu. Suara pertama kali yang ia dengar adalah suara Juand, dengan intonasi yang dingin. Ayah memperbolehkanmu dekat dengan mereka, bukan menjadi bagian dari mereka.
"Apa yang Ayah maksud? Apa Ailee membuat kesalahan?"
Apa X belum memberitahumu akibatnya? Kalian sama saja. Ingat, kita tak pernah terima toleransi. Jika mereka terlalu banyak merepotkan, ayah selalu menyediakan orang-orang yang siaga untuk membunuh mereka.
"Merepotkan? Mereka hanya sahabat-sahabat Ailee, Ayah. Kami hanya sebatas teman bermain."
Jangan-jangan kamu merencanakan pemberontakan lagi terhadap ayah, dibantu teman priamu itu? Ingat, walaupun dia dari keluarga kepolisian sekali pun, mudah untuk ayah membunuhnya.
Dada Vanya terasa semakin sesak. Apa yang sedang dipikirkan ayahnya? Ia hanya terdiam.
Kamu lihat pria berjaket hitam di arah jam sembilan?
Ia mengalihkan pandangan, ya, tak jauh darinya tampak seorang pria berjaket hitam sedang memerhatikannya.
Dia membawa senjata.
Ia masih memerhatikan pria itu yang mengibaskan sedikit jaketnya, sehingga tampak pistol terselip di sana.
Kamu tahu, kita tak pernah kesulitan membunuh orang yang menghalangi, 'kan? Jika sampai kamu dan temanmu itu merencanakan--
"Ayah tidak percaya Ailee?" tanyanya pelan.
Kamu pun tahu, jika satu-satunya orang yang bisa menghancurkan ayah adalah dirimu. Dan kamu adalah orang yang ayah takuti, anak ayah sendiri. Jadi, jangan lagi melakukan hal yang keliru, karena ayah telah bersumpah, takkan pernah memberikanmu maaf lagi.
Panggilan pun dimatikan sepihak. Pikiran Vanya menerawang jauh. Dulu, ia memang beberapa kali melakukan pemberontakan untuk membongkar kejahatan Juand, tetapi tak pernah berhasil. Juand pun selalu memaafkannya, mungkin pria itu benar menyayanginya karena tak memiliki keluarga selain dirinya. Apakah ia harus menjadi penerus Juand untuk seterusnya? Itu tampak hebat, dan ia pun sudah terlatih sedari kecil. Namun jujur, hatinya terluka melihat korban-korban yang menderita. Apalagi banyak korban sekaligus yang tidak berdosa.
"Kenapa pergi, Van? Anda cemburu?" tanya Aya sambil tertawa.
Vanya terkejut dengan kehadiran Aya yang tiba-tiba. "Enggak. Di sana terlalu ramai, sesak."
KAMU SEDANG MEMBACA
INDICATOR OF LOVE (✔)
Teen Fiction[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Bayangkan jika saat ini kamu memiliki geng persahabatan yang terdiri dari dua cewek dan tiga cowok. Kalian sudah seperti keluarga dan selalu bersemangat untuk memecahkan kasus-kasus yang terjadi. N...