48. DUKA CITA

115 24 8
                                    

Jenazah Leon segera dibawa ke rumahnya dibantu pihak kepolisian. Semua teman-temannya mengiringi dengan penuh duka. Sementara itu, Aya masih terduduk lemah di lantai dengan mata sembab. Ia belum berhenti menangis, begitu pula dengan Vanya. Vernon yang sedari tadi duduk mematung di lantai, segera berdiri dan menarik kuat Vanya untuk keluar dari kelas.

"Aku masih diam saat kamu fitnah ayah ... dan sekarang, kamu membunuh sahabatku?" Vernon tampak berusaha kuat menahan emosi. "Apa maumu?!"

Vanya menghapus air mata dan menatap Vernon tak percaya. Dadanya naik-turun karena difitnah seperti itu. "Leon itu juga sahabat saya! Saya tidak mungkin melakukan hal itu!" Air matanya kembali menetes karena kesedihan yang mendalam.

Vernon mengambil kertas dari dalam saku, lalu memperlihatkan kepada Vanya. "Oya? Terus, ini apa?"

Mata Vanya bergerak membaca tiap kata yang tertulis di sana. Ia menggeleng. "Saya tidak akan menyakiti sahabat saya," ungkapnya sungguh-sungguh.

Tiba-tiba, Zanu datang tergesa-gesa dengan keringat di dahi. Ia sepertinya habis berlari kencang ke sini. Vanya yang menyadari kehadiran abangnya itu, langsung menghampiri sambil mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. "Anda tahu sesuatu, 'kan!?" tanyanya berang.

Zanu menatap Vanya sendu dengan mata yang berkaca-kaca. "Di mana Leon?"

"Jawab pertanyaan saya! Anda terlibat, 'kan?" tanyanya tidak sabar.

"Abang tidak tahu apa-apa. Mulanya, abang disuruh untuk memutuskan semua koneksi telepon seluler dari sekolah ke luar, dan mengarahkan guru-guru untuk pergi ke kantor dinas," ungkapnya resah. "Tetapi abang memutuskan hanya mengganggu jaringan dari sekolah ke telepon guru-guru, dan abang melihat panggilan dari sekolah ke nomor kepolisian, dan Ibu Leon. Juand tidak memberitahukan apa pun. Abang sangat khawatir apalagi setelah kejadian Leon melihat dan mendengar percakapan di belakang rumah."

Vanya terdiam, ia melepaskan cengkeraman dengan lemah. "Padahal Juand sudah menyetujui untuk membebaskannya," katanya sambil menangis.

"Leon di mana?" tanya Zanu cemas.

Vanya tidak mampu menjawabnya. Hatinya benar-benar terluka.

"Leon udah pergi jauh. Dia meninggal di kursinya. Lehernya remuk dan ada bekas suntikan kecil di sana," kata Vernon lemah. "Sekarang lagi dibawa ke rumahnya."

Zanu terlihat sangat terkejut. Ia mengepalkan kedua tangan kuat dengan air mata yang berlinang.

"Ver!" seru Vero bergegas menghampiri adiknya. "Abang udah periksa ke belakang sekolah dan sekitar, tapi tidak ada jejak dari pembunuh itu," ucapnya. Ia mengenakan seragam kepolisian lengkap dan dua orang polisi lainnya mengikuti.

"Apa Bang Vero yakin, jika sahabatku dibunuh?"

"Tentu saja. Tadi abang sempat memeriksa lehernya yang remuk. Sayang sekali, ibunya tidak memperbolehkan jenazah anaknya diautopsi. Bahkan, tidak memperbolehkan kepolisian menyelidiki ini," katanya frustrasi. "Apa tadi sebelum polisi datang, ada barang bukti di TKP? Atau sesuatu hal yang ditinggalkan Leon, mungkin?"

"Tidak ada," jawab Vernon singkat.

***

"Ada. Kenapa Anda berbohong?" tanya Aya selidik.

Vernon menarik napas dalam. "Aku tidak mau membuat semua orang khawatir. Ibu Leon sudah mengikhlaskan semuanya. Aku tidak mau, kepergian Leon meninggalkan keresahan." Ia melihat orang-orang yang sangat ramai di rumah Leon.

Saat ini, mereka berdiri tidak jauh dari rumah Leon. Tadi jenazahnya baru selesai dimandikan. Aya menatap kosong ke depan. "Tidak semua dari kita yang jujur. Ada yang menyembunyikan sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan. Bukannya aku tidak percaya, hanya saja, perasaan ini begitu kuat dan selalu menghantui. Namun, apa pun yang terjadi, kalian semua sangat-sangat berharga. Aku menyayangi kalian, kalian sahabat yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Aku akan menyingkirkan perasaan buruk ini dan hanya akan memercayai kalian. Karena kalian sangat berharga." Air matanya menetes. Lalu, mengembuskan napas berat. "Leon pernah ngomong begitu ke saya." Ia kemudian menatap Vernon yang juga sedang menatapnya sendu. "Saya rasa feeling Leon tidak salah, jika dihubungkan dengan surat terakhirnya itu."

"Aya, aku rasa tidak baik jika kita membahasnya sekarang. Untuk hari ini, mari kita iringi Leon dengan baik, untuk terakhir kalinya."

Aya terdiam. Ia memikirkan percakapan antara Vernon, Vanya, dan Zanu tadi. Ya, secara diam-diam, ia mendengar semuanya. "Jika benar ada sesuatu yang disembunyikan ... saya tidak ingin berakhir juga. Dibodoh-bodohi oleh sahabat yang telah dianggap keluarga, sangatlah buruk."

***

Semua orang yang tinggal meratapi papan nisan kayu yang berdiri di atas kuburan Leon. Isak tangis terdengar di mana-mana, semua teman-teman Leon termasuk ibunya belum beranjak sedari tadi. Walau orang-orang dan pihak kepolisian sudah pergi.

"Terima kasih kepada teman-teman Leon yang sudah mengiringi Leon sampai ke peristirahatan terakhirnya," kata Ibu Leon tulus sambil tersenyum tegar. "Sekarang sudah sore, anak-anak pulang saja."

Teman-teman Leon pun meninggalkan tempat itu dengan berat hati, sambil menguatkan Ibu Leon. Tinggallah Ibu Leon dengan Aya, Vanya, Zanu, dan Vernon, yang mengelilingi kuburan Leon.

"Aya, Vanya, Vernon, Zanu," panggil Ibu Leon lembut. Mereka pun serentak menoleh ke arahnya. "Terima kasih banyak karena telah menjadi sahabat terbaik Leon selama hidupnya. Leon sering membangga-banggakan kalian, dan betapa bahagianya dia bisa mendapatkan sahabat-sahabat seperti kalian. Terima kasih sudah memberikan pengalaman hidup yang berharga dan mewarnai hari-hari anak ibu kembali. Karena jujur, semenjak kematian ayah dan adiknya, Leon selalu merasa buruk. Namun berkat kalian, dia bisa mendapatkan harapan kembali."

Mereka terdiam dan tidak mampu membalas. Aya dan Vanya semakin menangis mendengarnya.

"Sudah, jangan menangis lagi," cegah Ibu Leon khawatir. "Kalian tahu? Harapan Leon itu hanya ingin menjaga orang-orang yang mencintai dan dicintainya agar selalu bahagia, dan ibu rasa ia sudah berhasil sekarang. Kita harus tetap baik-baik saja demi Leon." Ia menghapus air mata yang mengalir.

"Bu, kenapa tidak lapor polisi saja? Vanya yakin, ada yang tidak beres," ucapnya dalam isakan.

Ibu Leon tersenyum kecil. "Ibu hanya ingin Leon pergi dengan tenang. Mengautopsi jenazah hanya akan merusak tubuhnya," katanya sambil memandang kuburan anaknya. "Lagian, ibu tidak memercayai kepolisian. Dulu kasus ayah dan adiknya pun berakhir sia-sia. Ibu tidak punya pilihan lain selain mengikhlaskan semuanya."

Hati Vernon teriris mendengarnya. Ia benar-benar merasa jatuh karena belum bisa berbuat apa-apa. Ia pun tidak tahu harus bagaimana, tetapi ia bersumpah akan menuntaskan semuanya, dengan tetap menyelamatkan orang-orang yang dicintai. Sedangkan Zanu terdiam sambil meratapi papan nisan Leon. Ia membacanya berkali-kali, dan berharap tulisan di sana berubah. Semua seperti mimpi. Ia tidak sanggup berkhianat pada orang-orang yang tulus untuknya. Ia tahu bahwa Leon sangat ingin meraih mimpinya menjadi detektif. Ditambah karena kasus kematian ayah dan adiknya yang tidak dipedulikan oleh kepolisian. Ia tersenyum miris, dulu Leon berapi-api menceritakan impiannya ini, tanpa ia tahu, bahwa sahabatnya sendirilah penjahat itu. Zanu benar-benar merasa sangat buruk. Hidupnya dari dulu tidak benar. Ia benar-benar sangat ingin mengakhiri semua ini. Bukan, bukan menyerah lagi, tetapi ia akan memulai untuk memikirkan jalan, bagaimana supaya terbebas dari Juand. Sama seperti yang dilakukan Vanya sedari dulu. Walau nyawanya sendiri yang menjadi taruhan. Rasanya lebih baik ia yang mati, daripada harus melihat lebih banyak penderitaan orang-orang yang dicintainya karena dirinya sendiri.

Sementara itu, Aya memeluk Ibu Leon, begitu pun dengan Vanya yang turut memeluknya erat. Maafkan saya, Bu.

***

Bacod.Author
Yes! Minggu ini update, walau sekali. Minggu kemarin malah up tiga kali. 😂 Benar-benar tak teratur. Wkwkk.

Hah, Bapak Singa kenapa mati sih. 😭 Aduh, kan saya yang nulis. 😅 Gini ni yang katanya bakal buat semua tokoh mati, satu aja yang mati sedih. 😢😄

Untuk sahabat Apenjer, terima kasih sudah setia mengikuti Apenjer, dkk dari awal sampai sekarang. 💕

Kalau mau nanya kapan ini cerita tamat, tenang, sabar, sebentar lagi kok. Hehehee. Saya juga gak mau terkesan terburu-buru menuju ending-nyaaa.

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman kalau suka, yaaa.

Salam damai,

SETIGA

INDICATOR OF LOVE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang